DEMOKRASI.CO.ID - Sanksi pidana atas penyiaran berita bohong dan berita tidak pasti dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bisa diterapkan jika seseorang menimbulkan keonaran yang besar.
“Dia harus menimbulkan akibat yang besar, dampak yang besar,” ujar Menkumham Yasonna Laoly di Jakarta, Jumat(20/9).
Pemidanaan itu, menurut Yasonna, jika kabar tidak pasti dan kabar bohong (hoaks) dari orang yang memberikan pandangan itu menimbulkan suatu kericuhan dan kerusuhan.
Namun, pemidanaan tidak dapat dikenakan kepada pers yang memberitakan pandangan tersebut karena yang berlaku adalah UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 sebagai hukum yang berlaku khusus (lex specialist).
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Muladi menambahkan bahwa pasal-pasal terkait penyiaran berita bohong dalam RKUHP sebelumnya sudah diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Muladi menjadi salah satu tim ahli yang menyusun RKUHP itu mengakui bahwa pasal yang terdapat dalam RKUHP sebenarnya adalah peraturan yang diambil dari Undang-Undang yang berlaku pascakemerdekaan tersebut.
“Waktu geger Pemilu kan dipakai pasal itu, kami perbaiki perumusannya RKUHP dari temuan atas itu,” ujarnya.
Sebelumnya, Menkumham berpendapat bahwa semangat yang dibawa dalam perumusan RKUHP adalah semangat dekolonisasi, jelas Yasonna usai pembahasan tingkat I di ruang rapat komisi III DPR RI.
Sedangkan, UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tersebut terbit dengan pertimbangan saat itu negara belum dapat membentuk sebuah Undang-Undang Pidana yang baru sehingga menggunakan hukum pidana yang sudah ada sejak zaman penjajahan dengan disesuaikan dengan keadaan.
Maka, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru menjadi acuan dari UU Nomor 1 Tahun 1946 yang berlaku pascakolonialisme itu. [iis]