Oleh Asyari Usman
Ketika ditanya wartawan bagaimana tanggapannya terhadap pengunduran diri Saut Situmorang dari jabatan wakil ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Presiden Jokowi hanya menjawab bahwa itu merupakan hak seseorang.
“Itu hak setiap orang untuk mundur atau tidak mundur,” kata Jokowi.
Tidak ada yang salah dengan jawaban ini. Tetapi kalau cuma begitu, enak sekali menjadi presiden Indonesia. Ada apa-apa, cukup dijawab secara normatif. Padahal, presiden itu adalah jabatan tertinggi. Dia harus mampu memberikan penjelasan perspektif tentang sesuatu yang sedang dipersoalkan.
Kalau ada pejabat penting mundur dan kemudian Presiden mengatakan, “Itu hak dia”, atau “Biarkan saja”, dlsb, siapa pun bisa. Tapi, tentu pengunduran diri seseorang –apalagi sedang ada kontroversi— tidak cukup dengan jawaban yang sifatnya normatif. Bila ada yang mundur di tengah suasana yang panas, perlulah dibaca pesan moralnya.
Jika tidak paham pesan moral pengunduran diri Saut Situmorang, bisa tanyakan ke staf-staf hebat yang ada di Istana. Di sana ada Teten Masduki, bekas aktivis antikorupsi yang pernah lama memimpin ICW. Ada juga Johan Budi, dan beberapa staf lain yang terbiasa dengan aktivitas bela publik.
Kalau mereka juga tak bisa membaca pesan moral itu, berarti Pak Jokowi perlu merombak orang-orang yang berada di sekitarnya. Bisa dicari di banyak universitas. Ada rektor, ada profesor, ada pakar, ada ahli psikologi politik, ahli psikologi sosial, dan lain-lain sebagainya yang bisa dibawa masuk untuk menjelaskan pesan moral.
Andaikata, setelah itu, masih sulit juga memahami pesan moral, banyak literatur tentang itu yang bisa dijadikan referensi. Ada dalam bentuk cetakan, ada pula yang tersedia ‘online’.
Sekiranya masih tetap tak dipahami, tentu banyak yang bisa mendampingi Pak Jokowi untuk menangkap pesan moral di balik berbagai kejadian. Banyak yang bisa membantu. Ada Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, ada Prof Tito Karnavian, ada Romi Romahumuziy yang sangat dekat dengan Pak Jokowi. Ada Menpora Imam Nahrowi, dan ada juga Ali Mochtar Ngabalin. Ada Muhaimin Cak Imin, ada Yosanna Laoly, ada Gunerbur Ganjar Pranowo, dll.
Semua mereka ini sangat mumpuni dalam hal moral. Mereka sangat fasih membaca pesan moral. Tak diragukan lagi dari sisi moralitas.
Memang harus diakui bahwa untuk memahami ‘pesan moral’, diperlukan modal dasar berupa ‘moral’ juga. Mirip dengan pameo ‘umpan ikan untuk memancing ikan’. Atau, bisa juga diibaratkan ‘duit cari duit’. Lebih kurang begitu. Memahami pesan moral dengan moral.
Artinya, tanpa modal dasar berupa ‘moral’, pasti akan kesulitan untuk memahami pesan moral. Bagi banyak orang, modal moralitas itu sering diabaikan. Mereka membuang moral karena dianggap sebagai penghalang. Akibatnya, mereka tak memliki pondasi yang ‘compatible’ atau yang cocok untuk mencerna pesan moral.
Kondisi ini menyebabkan orang-orang mengabaikan pesan moral. Mereka tak perduli. Main sabur. Kalau tidak ‘grasa-grusu’, pastilah mereka menjadi ‘disoriented’ (kehilangan arah) ketika bereaksi terhadap sesuatu peristiwa. Tak paham apa yang sedang terjadi dan yang akan terjadi. Tak mengerti dampak fatal yang akan muncul.
Itulah pentingnya membaca pesan moral. Cukup sederhana, sebetulya. Sama seperti orang buta aksara. Dia bisa dilatih mengenali huruf supaya bisa membaca. Begitu juga, orang bisa dilatih mengenali moralitas supaya dia bisa membaca pesan moral.
Membantu Pak Jokowi membaca pesan moral, tentulah tidak serumit yang kita bicarakan ini. Saut Situmorang mundur karena dia melihat kemungkinan dekadensi moral dalam perjalanan KPK ke depan. Itulah pesan yang ingin ia sampaikan.
Malam tadi, seluruh pimpinan KPK malah menyerahkan pengelolaan lembaga antikorupsi itu kepada Presiden Jokowi. Artinya, sedang ada ‘pause’ dalam pelaksanaan tugas KPK. Dari sini, pesan moral itu semakin jelas lagi untuk dicerna oleh Pak Jokowi.
Tak perlulah kita katakan, “Mari bantu Pak Jokowi membaca pesan moral”.