DEMOKRASI.CO.ID - KPK bisa disebut “mati” mulai kemarin. Untuk mengungkapkan keprihatinan, wadah Pegawai KPK bersama Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi melakukan aksi teatrikal di Gedung Merah Putih tadi malam. Mereka membuat simbol berupa bendera kuning yang dibawa ratusan orang, kemudian menembakkan laser merah ke arah logo KPK. Mereka juga ”nyekar” di makam buatan yang mewakili matinya KPK.
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Asfinawati mengatakan, mulai kemarin KPK bukan lagi benteng terakhir maupun garda terdepan pemberantasan korupsi. Sebab, KPK ”sukses” digembosi pemerintah. ”Kita mengenang prestasi garda terdepan dan korban-korban yang telah ditolong lembaga ini,” ucapnya di tengah aksi.
Satu-satunya cara yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan KPK, menurut Asfinawati, ialah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal-pasal maupun prosedur pembahasan yang penuh kejanggalan bisa diajukan sebagai materi judicial review. ”Itu bisa jadi salah satu peluang bagi lembaga hukum atau ahli hukum publik untuk melakukan gugatan karena ada cacat prosedur,” jelasnya.
Kendati demikian, Asfinawati berharap ada upaya masif dari masyarakat. Sebab, kalau hanya berharap pada judicial review, hasilnya mungkin tidak akan jauh berbeda. Dia sangsi karena ada kemungkinan konflik kepentingan di jajaran hakim MK dengan pemerintah. ”Saya sih tidak ingin mendahului proses karena UU-nya belum diberi nomor,” lanjut dia.
Ketua WP KPK Yudi Purnomo tidak menyampaikan langsung orasinya. Namun, secara tertulis, dia menyampaikan rasa dukacita mewakili ratusan pegawai KPK yang terancam tak independen lagi. Dia mengapresiasi semua yang mendukung KPK melawan pelemahan lewat revisi UU. ’’Entah besok KPK akan dimiliki siapa. Karena dengan revisi ini, KPK sudah tidak seperti dulu lagi. Gedung tetap ada, namun nilai-nilainya tergerus,’’ ungkapnya.
Sebelumnya, KPK juga kedatangan PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang memberikan dukungan. ’’Kami tetap mendukung KPK dengan kewenangan dan kelengkapan yang ada,’’ ujar Ketua Umum PB HMI Zuhad Aji Firmantoro di Gedung Merah Putih. Senada dengan pihak-pihak yang kontra dengan revisi UU KPK, Zuhad menegaskan bahwa ada kejanggalan dalam proses pembahasan. Kejanggalan itulah yang membuat revisi UU harus ditolak.
Bahkan, Zuhad mengatakan bahwa PB HMI telah mengimbau HMI cabang untuk turut menunjukkan dukungan. ’’Kami menyerukan kepada HMI cabang untuk berdemonstrasi di wilayah masing-masing,’’ lanjutnya. HMI berharap dengan aksi tersebut, pemerintah tidak abai terhadap masukan masyarakat.
Negara Bergerak ke Arah Otoriter
Di Surabaya, para dosen dan alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus menyuarakan penolakan atas revisi UU KPK. Guru besar teknik kelautan ITS Daniel M. Rosyid mengatakan, setelah pernyataan sikap para alumnus dan dosen ITS, akan ada tindak lanjut lagi untuk menyikapi revisi UU itu.
Rencananya, asosiasi alumni perguruan tinggi di Indonesia mengadakan pertemuan untuk menyusun aksi bersama. Termasuk alumni ITS. ”Saya kira ada semacam pertemuan untuk merumuskan aksi lebih lanjut. Ikatan alumni kampus-kampus ini ada wadah dan mereka akan membuat gerakan,” ungkapnya.
Daniel menjelaskan, rencana pertemuan tersebut masih dikoordinasikan melalui grup-grup alumni kampus. Ada forum komunikasi antaralumni kampus di Indonesia. Mereka punya kesamaan tentang platform KPK. ”Pernyataan sikap kami lakukan beberapa hari lalu. Bermula dari grup WhatsApp, lalu dilanjut dengan pembuatan draf resmi,” ujarnya.
Menurut Daniel, aksi yang dilakukan para ikatan alumni kampus di Indonesia tersebut merupakan kelompok penekan. Mereka tidak punya kepentingan politik maupun ekonomi. Mereka khawatir dengan poliarki politik ekonomi yang makin besar. Negara bergerak ke arah otoriter. ”Saya kira ini punya dampak kehidupan demokrasi yang serius,” tuturnya.
Selain semakin otoriter, indeks demokrasinya langsung anjlok. Beberapa investor pun mulai menarik uangnya dari Indonesia. ”Menurut saya, ini sudah tidak terelakkan,” tegasnya.
Meskipun KPK harus berbenah, lanjut Daniel, platform KPK sudah bagus. Namun, yang terjadi saat ini, justru platformnya yang dirusak. Jadi, itu akan lebih tidak efektif. ”Itu yang para dosen dan alumni amati perkembangan terakhir yang terjadi saat ini. Mereka mencium skenario jelek terhadap kegiatan korupsi di Indonesia,” katanya.
Daniel mengingatkan, perjuangan yang dilakukan masyarakat masih berat. Sebab, DPR mengabaikan begitu saja surat-surat masyarakat. Yang terlihat justru terjadinya pemisahan antara aksi-reaksi masyarakat dan kekuasaan. Jika itu terjadi, yang dikhawatirkan bakal lahir pembangkangan sipil.
”Saya kira DPR seperti dikopling. Tidak nyambung lagi dengan masyarakat. Tindakan ini harus dilakukan. Semoga ada respons,” harapnya. [jpg]