DEMOKRASI.CO.ID - Peneliti Indonesia Corruption Watch atau ICW Kurnia Ramadhana mengkritik klausul-klausul yang muncul dalam Revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau RUU KPK. Satu di antaranya, terkait kewenangan menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara atau SP3.
Menurut Kurnia, klausul SP3 bagi KPK justru melemahkan lembaga antirasuah dalam membongkar kasus korupsi besar. Seperti dugaan korupsi BLBI, Century, dan e-KTP. Menurut dia, pengusutan kasus korupsi itu memakan waktu panjang.
"Revisi Undang-Undang KPK kali ini, klausul dua tahun ini justru ingin menghentikan penyidikan perkara besar yang sedang berjalan di KPK. Ada banyak perkara besar berjalan di KPK. Seperti BLBI, ada Century, ada e-KTP yang sudah berjalan," tutur Kurnia saat menjadi pembicara dalam diskusi "Jalan Inkonstitusional Revisi UU KPK" di Kantor Kode Inisiatif, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (18/9).
Lagi pula, lanjut Kurnia, klausul tentang SP3 bertabrakan dengan tiga putusan MK di tahun 2003, 2006, dan 2010. Dalam tiga putusan itu, KPK bukanlah institusi penegak hukum yang bisa menerbitkan SP3.
"Bertentangan dengan putusan MK, ada tiga putusan MK, tahun 2003, 2006, dan 2010 yang spesifik menyebutkan KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3," kata Kurnia.
Kurnia menerangkan, MK memiliki alasan kuat sehingga menyebut KPK tidak berhak menerbitkan SP3. Tanpa SP3, KPK menjadi lebih berhati-hati menetapkan tersangka seseorang atas kasus korupsi.
"Agar KPK lebih berhati hati untuk mengkonstruksikan perkara yang nantinya dibawa ke persidangan, tujuannya untuk membuat hakim yakin bahwa yang bersangkutan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah," tutur dia. [jpg]