DEMOKRASI.CO.ID - Salah satu cara mujarab untuk menghilangkan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di Riau adalah dengan membuat hujan buatan. Namun, membuat hujan pun tidak semudah membalikan telapak tangan. Sebab diperlukan persyaratan agar hujan itu dapat turun sesuai kehendak.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto menjelaskan, syarat untuk membuat hujan buatan yang paling utama adalah konsentrasi awan itu harus 70 persen mengandung uap air.
"Kalau belum (70 persen), kita tebar garam pun, juga gak bisa turun hujan," ujarnya saat jumpa pers di Gedung Media Center Kemenko Polhukam, Medan Merdeka Barat No. 15 Jakarta Pusat, Rabu (18/9).
Masalahnya sekarang, di daerah rawan Karhutla, kandungan uap air pada awan berkisar diangka 55 sampai 60 persen, masih belum cukup untuk diolah menjadi hujan buatan.
Dengan keadaan seperti itu, Wiranto menyatakan, hujan buatan untuk saat ini masih belum bisa dilakukan. Maka langkah yang diambil sekarang yaitu dengan mendatangkan air ke tempat yang terbakar.
"Caranya ada dua macam. Pake jalan darat atau air di jatuhkan di situ. Artinya apa? Manggala agni, TNI, Polisi, Masyarakat, LSM yang tergabung dalam penindakan kebakaran hutan beraksi di situ," jelas Wiranto.
Untuk kebakaran di tengah hutan yang sulit dijangkau dengan jalan darat, cara yang digunakan untuk memadamkan api adalah dengan menjatuhkan bom air.
"Berarti butuh helikopter. Kalo kemarin cuma 32, sekarang sudah 52, kita lebihkan. Sebenarnya bom air paling mahal. Sekali terbang sudah berapa dollar. Nah ini sudah sampai 71 ribu kali terbang," terang Wiranto.
Sejauh ini air yang ditumpahkan sudah sampai 201 ton air. Lalu kenapa sampai hari ini masih terbakar?
Wiranto menjawab, selama musim hujan belum datang, lahan yang terbakar itu bukan hanya ladang-ladang kering tapi juga ladang gambut yang kalau sudah terbakar sulit untuk dipadamkan.
"Tatkala kita melihat para petugas di sana, sudah mampu memadamkan lahan gambut, sejam kemudian sudah muncul lagi titik-titik api di tempat lain. Tidak mudah memang, maka kemudian lalu kita pake bom air, dan itu mahal," demikian Wiranto. [rm]