ENGGARTIASTO Lukita, Menteri Perdagangan, bikin ulah lagi. Setelah membuka kran impor pangan secara ugal-ugalan. Dan juga tidak menggubris panggilan KPK sebanyak tiga kali. Kini, Enggar berani menghapus ketentuan label halal untuk persyaratan impor unggas dan daging merah.
Akal-akalan Enggar terlihat dari Permendag 29/2019 yang tidak lagi mencantumkan persyaratan label halal. Padahal dalam Permendag sebelumnya, yakni Permendag 59/2016, ketentuan pencantuman label halal diatur dalam Pasal 16 ayat 2 huruf e.
Umat Islam marah. DPR pun bersuara keras. Bila Permendag 29/2019 tidak direvisi, maka konsekuensinya daging yang diimpor tidak terjamin kehalalannya. Hal tersebut dikarenakan, satu, cara penyembelihannya tidak ada jaminan sesuai dengan syariat Islam, alias menjadi bangkai. Dua, bisa karena tempat pemotongannya bercampur dengan babi, misalnya!
Enggar lupa bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah umat Islam. Wajar jika meminta label halal dalam makanan yang akan dikonsumsinya. Maka aneh, bila dalam Permendag yang lama sudah ada ketentuanya, tetapi dalam Permendag yang baru dihapus.
Tampaknya Enggar terburu-buru. Setelah kalah dari Brazil di Sidang WTO. Spontan Enggar ingin memenuhi kemauan Brazil. Yakni impor unggas dan daging tidak perlu sertifikat halal.
Di situlah patut dicurigai kenapa bisa kalah di WTO. Bukankah Indonesia mayoritas muslim, sangat wajar jika menginginkan produk yang halal bagi rakyatnya. Negara manapun yang ingin menjual produknya harus mengikuti ketentuan tersebut.
Sertifikat halal bukanlah penghambat impor. Negara-negara lain yang jelas-jelas melakukan hambatan dagang tidak ditegur oleh WTO. Misalnya, Uni Eropa menghambat impor produk sawit Indonesia. Amerika Serikat juga melarang teknologi 5G dari Huawei China.
Patut dicurigai kekalahan Indonesia di forum WTO dikarenakan tidak maksimalnya perjuangan pemerintah dalam mempertahankan ketentuan sertifikasi halal. Bila negara Eropa bisa menghambat produk sawit Indonesia. Bila Amerika berani menolak teknologi 5G milik Huawei China. Maka, Indonesia pun harus berani menolak impor "bangkai". Kekalahan di forum WTO patut diusut tuntas.
Sudah berkali-kali diingatkan bahwa Enggar adalah sumber permasalahan bangsa. Kebijakannya membuka kran impor pangan secara ugal-ugalan telah menyengsarakan petani, peternak dan petambak garam.
Demikian juga keengganan Enggar memenuhi panggilan KPK telah ditiru pihak-pihak lain. Tercatat, panggilan KPK terkait kasus suap proyek Kementerian PUPR dan suap terminasi kontrak PKP2B di Kementerian ESDM, juga tidak dindahkan pihak-pihak yang dipanggil. Inilah awal tumpulnya taring KPK sebelum polemik pemilihan capim KPK dan revisi UU KPK mencuat.
Merasa sebagai orang "sakti" itulah, Enggar berani merubah hal sensitif terkait label halal. Kali ini Enggar salah. Umat Islam marah. Peringatan keras, jangan impor "bangkai" ke Indonesia. Enggar pun katanya siap merevisi Permendag. Bila berbohong, umat Islam siap bergerak.
Kasus ini agar dijadikan pertimbangan Presiden Jokowi dalam menyusun kabinet mendatang. Enggar tidak layak masuk kabinet. Keberadaannya hanya akan menyengsarakan rakyat. Stop Enggar!.
Sya'roni, SEI
Alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.