DEMOKRASI - Mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengkritik keras pandangan Presiden Joko Widodo terhadap beberapa poin dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Revisi UU KPK) yang diusulkan oleh DPR.
Ia mengatakan Jokowi masih menyetujui tiga poin dalam revisi UU KPK yang menurutnya justru upaya nyata pembunuhan KPK. Ia pun menilai Presiden kini tengah membodohi publik.
"Saya melihat Presiden ini main-main, tega-teganya membodohi publik. Dikira publik ini bodoh?" kata Busyro, ditemui di Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Surabaya, Sabtu (14/9).
Tiga poin itu, kata Busyro, pertama Jokowi menyetujui Dewan Pengawas di KPK. Kedua, Jokowi menyetujui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Ketiga, Jokowi menyetujui perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sedangkan sejumlah poin yang ditolak oleh Jokowi antara lain soal izin pihak luar ketika ingin melakukan penyadapan. Kedua, Jokowi tidak setuju penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan.
Ketiga, Jokowi tak setuju KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan. Dan keempat, Jokowi tidak setuju pengalihan pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tak dilakukan oleh KPK.
Jokowi saat menjelaskan pandangannya di Istana Negara, Jumat (13/9), mengaku ingin lembaga antirasuah itu memiliki kewenangan yang lebih kuat dari lembaga lainnya dalam memberantas korupsi.
"Saya ingin KPK memiliki peran sentral dalam pemberantasan korupsi di negara kita," kata Jokowi.
Jokowi menyatakan penguatan KPK dilakukan dengan penyempurnaan terbatas terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Lebih dari 17 tahun UU tersebut belum direvisi.
Di sisi lain menurut Busyro pandangan Jokowi, terutama sikapnya menyetujui tiga poin revisi UU KPK, masih berpotensi melemahkan KPK.
"Presiden menolak pelemahan dengan menolak [empat] pasal-pasal yang diajukan oleh DPR, tapi dengan menyetujui tiga poin. Tapi tiga poin setelah kita baca, tiga poin itu masih mengandung unsur-unsur yang akibatnya pembunuhan KPK," katanya.
Dari tiga poin tersebut, Busyro menyoroti salah satunya tentang perubahan status pegawai KPK menjadi ASN.
Menurutnya poin tersebut adalah ancaman nyata terhadap independensi KPK, secara kelembagaan dan kepegawaian.
"Poin ASN adalah bentuk pembunuhan KPK secara smooth, pakai kursi listrik setrum pelan-pelan. Atau pakai arsenik, ya? Pada suatu saat nanti budaya asli sebagai lembaga independen hilang. Otomatis KPK mati," ujar Busyro.
KPK, kata Busyro selama ini dibentuk dengan sistem perekrutan yang ketat, sebagaimana diatur dalam UU KPK. Pegawai dan penyidik KPK pun dididik dengan serius, dilatih secara mental dan fisik bahkan oleh Kopassus selama beberapa bulan.
"Kita merekrut pegawai KPK, kita juga mendesain pegawai KPK menjadi periset, analis LHKPN, menjadi penyelidik, dan yang memenuhi syarat menjadi penyidik, itu kemudian kita training dan training-nya gak main-main, secara mental dan fisik. Kita titipkan kepada Kopassus di Lembang," ujar dia.
Pelatihan dan perekrutan pegawai KPK yang didesain sedemikian rupa, kata Busyro, terbukti mampu menghasilkan SDM yang independen dan bisa menjaga marwah KPK itu sendiri.
"Artinya Desain KPK dengan SDM yang sudah pernah dilakukan sebelumnya hasilnya independen, itu karena tidak ada nilai-nilai dan budaya ASN yang masuk di KPK," katanya. [cnn]