DEMOKRASI.CO.ID - Mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menduga narasi polisi atau kelompok Taliban berasal dari pihak Istana Kepresidenan. Itu dilakukan untuk mempolitisasi dan melemahkan KPK.
Meski demikian, Busyro tidak menyebut secara gamblang siapa orang di Istana yang mencuatkan isu tersebut hingga muncul ke permukaan.
"Ini dipolitisir, dan dipolitisasi itu ada indikasi dari Istana, orang Istana," kata Busyro, saat ditemui di Kantor PW Muhammadiyah Jawa Timur, Surabaya, Sabtu (14/9).
Busyro menceritakan bahwa sebenarnya istilah Polisi Taliban itu sudah ada sejak lama di internal KPK. Bahkan, sebelum Busyro menjabat sebagai wakil ketua pada periode 2011-2015.
Mulanya, ia mengaku sempat heran terhadap istilah Taliban tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, ia pun mengerti bahwa istilah itu hanyalah kiasan dan digunakan untuk menggambarkan militansi para penyidik.
"Waktu saya masuk sudah ada istilah Taliban, saya heran. Lho kok Taliban? 'Pak ini enggak ada konotasi agama', memang apa? Karena ini icon.Taliban itu menggambarkan militansi orang-orang Afghanistan, dan banyak penyidik KPK itu militan," katanya.
Ia juga menampik istilah Polisi Taliban dikaitkan dengan agama tertentu. Apalagi, jika istilah itu diidentikan dengan radikalisme.
"Ini ada (penyidik) kristian (beragama) Kristen, ini (penyidik) Kadek (beragama Hindu), ini Novel cs dari Islam, jadi mereka biasa-biasa saja, jadi Taliban itu nggak ada istilahnya dalam konteks radikal," ujarnya.
Isu radikalisme di tubuh KPK sendiri sudah beberapa kali mencuat ke publik. Salah satunya, pernyataan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane yang menyebut pegawai Taliban di KPK adalah pengikut penyidik Novel Baswedan. Lalu ada pula Polisi India yang merupakan kubu berseberangan.
Neta dalam keterangan tertulisnya berkata bahwa kedua kelompok tersebut telah melakukan aksi saling 'mencakar'. Dia menyebut kini sudah mencapai tahap mengkhawatirkan dan berbahaya bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Aksi cakar-cakaran itu, menurutnya, semakin memanas jelang Tim Panitia Seleksi Capim Pimpinan KPK melakukan tahapan penjaringan.
Busyro lalu menyayangkan sikap pansel yang menurutnya lebih terfokus pada isu radikalisme, ketimbang isu integritas serta rekam jejak para capim KPK. Menurutnya, hal itu membuat Irjen Pol Firli Bahuri lolos menjadi hingga tahap akhir tahap seleksi.
"(Isu polisi Taliban) Dikembangkan oleh pansel. Mengapa baru kali ini pansel itu enggak punya pekerjaan, enggak punya konsep,"
"Ada tiga guru besar, (tapi) materi psikotesnya pakai isu-isu radikalisme, tapi pertanyaan-pertanyaannya itu childish banget, misalnya kalau ada bendera Merah Putih menghormati itu bagaimana. SMP itu," katanya.
Diketahui, Komisi III DPR telah memilih lima pimpinan KPK periode 2019-2023. Mereka adalah Irjen Pol Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango dan Nurul Ghufron.
Mereka dipilih pada Kamis lalu (12/9). Irjen Firli Bahuri, yang berasal dari Kepolisian, didapuk sebagai ketua.
Banyak pihak yang keberatan jika Firli Bahuri menjadi pimpinan KPK selanjutnya. Terutama dari kalangan Koalisi Masyarakat Sipil.
Mereka menyatakan bahwa Firli pernah diduga melanggar kode etik berat ketika masih menjadi Deputi Penindakan KPK. [cnn]