
DEMOKRASI - Dalam rencana Revisi Undang-Undang KPK salah satunya memuat agar lembaga antirasuah itu dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). ICW menilai, hal itu justru bisa melemahkan agenda pemberantasan korupsi.
"Karena penanganan perkara Tipikor (tindak pidana korupsi) itu lebih susah daripada penanganan-penanganan perkara biasa," kata Kepala Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW, Tama S Langkun saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (7/9).
Misalnya, ia mencontohkan, dalam penanganan kasus megakorupsi KTP-el. Problem yang membuat lama penanganan kasusnya karena harus menghitung seberapa besar kerugian negara dan melibatkan lembaga lain seperti BPK.
"Artinya pemeriksaan akan panjang. Jika ini diberlakukan cuma setahun bisa saja nanti perkaranya hilang, enggak selesai setahun, terus disetop, padahal perkaranya sedang jalan. Bisa juga dengan modus-modus di pengadilan, proses penuntutan dibuat mundur lebih dari setahun kemudian disetop," urainya.
Sebelumnya, Komisi III DPR RI memasukkan ketentuan adanya SP3 dalam draft RUU KPK No 30/2002 tentang pemberantasan korupsi. Salah satu anggota Komisi III Fraksi Gerindra Desmond J Mahesa menegaskan pemberian kewenangan SP3 bagi KPK semata untuk memberikan kepastian hukum.