DEMOKRASI - Presiden Joko Widodo dituntut cepat bertindak, mencegah keretakan internal Koalisi Indonesia Kerja menjadi lebih parah.
Perang urat saraf di barisan koalisi Jokowi-Maruf sudah terasa selama satu bulan terakhir, bermula dari pertemuan Jokowi-Prabowo Subianto dilanjutkan kunjungan Prabowo ke kediaman Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.
Puncaknya pada pembukaan Kongres V PDI Perjuangan yang digelar di Denpasar, Bali, kemarin (Kamis, 8/8). Megawati seolah menyepelekan para koleganya, sesama ketua umum parpol koalisi, yang menjadi tamu undangan kongres.
Mega malah memposisikan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, sebagai tamu spesial. Situasi tersebut semakin menimbulkan kecemburuan dan seharusnya segera ditangani Presiden Jokowi selaku pemimpin koalisi.
"Jokowi pemimpin koalisi, karena dia presidennya, sebagai orang yang didukung partai-partai tersebut. Hanya Pak Jokowi yang bisa mendamaikan mereka semua agar koalisi baik-baik saja," kata pengamat politik, Ujang Komarudin, dalam wawancara dengan Kantor Berita RMOL, Jumat pagi (9/8).
Dia menilai kedekatan Prabowo dengan Jokowi dan Megawati berpotensi menciptakan "perang dingin". Indikasinya sudah terlihat dari sikap Partai Nasdem, Golkar, PKB, PPP beberapa waktu terakhir.
"Didukung oleh Gerindra, pemenang kedua dalam Pemilu, tentu akan merugikan Nasdem dan partai lainnya. Wajar jika Nasdem, Golkar, PPP, PKB menolak kehadiran Gerindra," ucap Ujang.
Menurut dia, bergabungnya Gerindra ke dalam koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-Maruf Amin akan lebih menguntungkan PDIP.
PDIP memiliki teman baru, memiliki partai yang baru, dan ini bisa menjadi penambah kekuatan di internal koalisi Jokowi-Maruf dan menguntungkan PDIP sebagai partai pemenang pemilu," sambungnya.
Jika suasana "perang dingin" itu dibiarkan oleh Jokowi, rakyat akan menangkap kesan pemerintahan Jokowi-Maruf Amin tidak ditopang koalisi yang kuat.
SUMBER