DEMOKRASI - Sebetulnya ada harapan agar ajang Kongres V PDI Perjuangan di Bali menjadi momentum bagi Megawati dan Surya Paloh membantah asumsi publik tentang ketidakharmonisan di antara mereka.
Tapi yang terjadi sebaliknya. Surya Paloh dan rekan-rekan Koalisi Indonesia Kerja yang memenangkan Pilpres 2019 tidak mendapat tempat istimewa lagi di hati Mbak Mega, kecuali jatah tempat duduk di deretan paling depan.
Pidato Megawati Soekarnoputri di pembukaan Kongres malah jadi penegasan bahwa tidak ada ruang kompromi lebih lanjut. Mega melakukan apa yang diperlukan bagi partainya. Tanpa jaim alias jaga image.
Sebagai pemimpin tertinggi dari partai pemenang Pemilu 2014 dan 2019, Mega terang-terangan meminta jatah kursi menteri lebih dari yang sudah diduduki selama lima tahun terakhir (di atas 4 kursi).
Walau sudah diduga sebelumnya, namun tuntutan Mega kemarin menegaskan lagi bahwa jatah kabinet merupakan akar perang urat saraf yang selama ini terjadi antara Poros Gondangdia dan Poros Teuku Umar.
Sah saja Mega menuntut jatah terbesar. Presiden terpilihnya adalah orang yang dibesarkan PDIP. Jokowi berutang politik besar kepada PDIP sejak dirinya dicalonkan menjadi Walikota Solo sampai terpilih dua kali menjadi presiden.
Pembayaran utang politik Jokowi kepada partainya sendiri selama ini terhalang elemen lain yang merasa lebih berjasa dalam kemenangan Jokowi di 2014. Dalam hal ini Partai Nasdem yang dipimpin Surya Paloh.
Memang Paloh sepenuh daya menggerakkan modal finansial, mesin partai dan gerbong media massa yang dimilikinya. Tapi ada faktor yang tidak dimiliki Nasdem berkaitan Jokowi. Nasdem tidak memiliki sejarah emosional maupun ideologis yang sama dengan PDIP jika menyangkut figur asal Solo itu.
Lagipula, konstelasi kekuatan politik di Koalisi Indonesia Kerja sangat berbeda dengan konstelasi kekuatan politik di Koalisi Indonesia Hebat (Pilpres 2014). Lima tahun lampau laga Pilpres cukup berimbang dengan kehadiran dua taipan media massa di masing-masing kubu. Paloh mengerek Media Group membantu Jokowi-Jusuf Kalla. Sedangkan di kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mendapat dukungan Hary Tanoesudibjo yang membawahi raksasa media MNC Group.
Megawati memandang inilah saat yang paling tepat baginya untuk blak-blakan. Mega menunjukkan power-nya atas kepempinan nasional lima tahun mendatang. Tidak ada kemunafikan dalam pidato Mega kemarin. Berterus terang bahwa sudah saatnya Jokowi melakukan sesuatu lebih besar bagi partai yang membesarkannya.
Perubahan konstelasi kekuatan di internal koalisi pendukung Jokowi dengan hadirnya Hary Tanoe membuat Paloh kehilangan alasan kuat untuk menuntut lebih. Nasdem mesti rela kehilangan tiga "pos basah" yang didudukinya selama pemerintahan Jokowi jilid pertama.
Sedangkan bagi Megawati, sekarang atau tidak sama sekali. PDIP harus menerima banyak, lebih banyak dari sekarang dan terbanyak.
Mega sengaja memanfaatkan panggung kongres, yang dipercepat untuk mendahului penetapan kabinet, demi menggaungkan sikap pribadi dan partai. Daya ledaknya tentu lebih dahsyat. Suasana kebatinannya lebih pas.
Untuk mengawal tuntutan itu sampai terpenuhi, Mega "terpaksa" tetap menduduki jabatan ketua umum. Inilah tahapan transisi menuju regenerasi kepemimpinan PDIP. Jika waktunya tepat, yaitu ketika semua tuntutan politik itu terpenuhi dan persiapan regenerasi sudah matang untuk dijalankan, Mega tinggal memerintahkan "Kongres Luar Biasa".
KLB bisa berlangung memakai argumentasi usia dan fisik Megawati yang sepuh. Kepemimpinan jatuh ke tangan trah Soekarno, Puan Maharani atau Prananda Prabowo, tergantung penilaian sang ibu setelah keduanya cukup lama digodok di kabinet, parlemen dan partai.
Inilah jalan berliku yang dipilih Mega untuk menyiapkan anak-anaknya memegang kendali penuh mesin partal. Setelah sasaran antara itu sukses diraih, pijakan mencapai sasaran utama sudah mantap dan kuat. Trah Soekarno untuk 2024.
SUMBER