OLEH: SYAHGANDA NAINGGOLAN
THE Market for Lemons, teori ketidaksempurnaan pasar, berupa asimetri informasi, diciptakan George Akerlof, membuat dia memenangkan hadiah Nobel pada tahun 2001.
Model yang dikembangkan Akerlof dengan menggunakan dua mobil bekas yang dipasarkan, yang lebih buruk (Lemon, istilah di USA) dan sedikit buruk, tanpa informasi sempurna tentang kondisi mobil itu, antara penjual dan pembeli, membuat perilaku pembeli dan penjual mengalami dinamika merespon harga yang ada.
Dinamika perilaku ini pada akhirnya menuju situasi di mana mobil yang lebih baik akan keluar dari pasar dan mobil yang lebih buruk (Lemon) akan tersisa di pasar.
Apakah teori ini bisa diadopsi dalam menjelaskan pilpres kita?
Sebelum saya masuk ke sana, kita melihat sebuah teori lagi, Theory of the Second-Best, yang dikembangkan Richard Lipsey (ekonom Kanada) dan Lancester, 1957. Teori ini menjelaskan pilihan "imperfect market" yang dipilih, merupakan pilihan kedua yang terbaik (second- best), menjauhkan dari pilihan "imperfect market" lainnya yang sama atau bahkan lebih buruk.(Second-best theory states that when one optimum equilibrium condition is not met, all the other ones will probably change too).
Kedua teori ini coba kita gunakan untuk menjelaskan fenomena politik kita pada pilpres kemarin.
Pada pertengahan tahun 2017, sahabat saya ketika mahasiswa, sebut saja PA, memberitahu saya, bahwa dia (mengaku) mendesain hanya dua capres yang berlaga pada 2019. Hanya Jokowi melawan Prabowo.
Dengan hanya Jokowi dan Prabowo menguasai bursa pilpres, maka masyarakat terjebak pada dua pilihan saja. Dua pilihan ini tidak menimbulkan gairah keingintahuan tentang kandidat, karena mereka sudah pernah dipertarungkan pada tahun 2014.
Bahkan kepada PA saya mengkritik desain dia itu akan membuat perpecahan di masyarakat pasca Pilkada DKI akan semakin tajam. Sebaiknya capres harus lebih dari dua pasang.
Jika kandidat yang muncul bisa bebas sebanyak2nya, dengan membebaskan Presidential Threshold mendekati nol persen, maka akan muncul beberapa nama besar seperti Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo, Sukarwo, Puan Maharani, dan lain sebagainya.
Tanpa gairah baru, situasi pertarungan "rematch" Jokowi vs. Prabowo membuat informasi yang perlu digali terkait keberhasilan incumbent, tidak menjadi penting. Sebaliknya informasi tentang penantang juga tidak ada yang menarik.
Asimetri informasi dalam kasus pilpres Jokowi vs Prabowo terjadi karena pilihan pasar terperangkap pada ketidakingintahuan.
Dalam kasus Arkelof, asimetri informasi terjadi karena memang sulit mengetahui informasi “used car”, baik kondisi-konsidi komponennya, maupun karena adanya informasi yang disembunyikan penjualnya untuk bisa mempunyai harga bersaing.
Pada pilpres, tidak terjadi penilaian kinerja petahana, seperti 66 janji kampanyenya di tahun 2014, termasuk “buyback” Indosat, misalnya, maupun di sisi penantang, soal bagaimana kehidupan Prabowo, yang lebih baru infonya.
Pasar tidak bergairah, yang ada hanyalah cenderung fanatisme buta.
Berbeda pada pilpres 2004, persaingan sempurna terjadi di pasar, karena incumbent (petahana) bersaing dengan SBY dan Wiranto, dengan juga wakil-wakilnya, yang menawarkan berbagai hal-hal baru, sehingga masyarakat bergairah dan mencari "produk terbaik" dengan "harga terbaik" pula. Begitu juga ketika Jokowi masuk ke bursa capres, 2014, ada gairah di masyarakat.
Pada tahun 2019, Gatot Nurmantyo berusaha masuk ke pasar pilpres dengan menggoda parpol PKB, PD, dan PAN, menggandeng Cak Imin atau Sutrisno Bachir, namun gagal atau digagalkan.
Anies Baswedan sendiri berusaha masuk ke bursa capres, namun hanya ditawarkan cawapres oleh Prabowo.
Kondisi dua capres pada pilpres 2019 mendorong second best theory mendapatkan tempat. Pemilih Prabowo awalnya coba melihat "jualan" New Prabowo yang digadang-gadang Sandiaga Uno.
Seorang wakil ketua Gerindra, sebut saja FJJ, misalnya saat itu kecewa dengan pakaian Prabowo ala Mao Zedong, itu-itu saja.
Saya memberi dia buku New Power untuk melihat perspektif old power berbasis loyal total pada brand sudah ditinggalkan. Prabowo, menurut konsep “New Prabowo" harusnya pakai pakaian yang modis, namun tidak terjadi.
Dan seharusnya lagi mempunyai pikiran-pikiran baru di luar jargon anti asing dan aseng, serta berdamai dengan kapitalisme global.
Karena ternyata Prabowo tetap sama dengan Prabowo tahun 2014, Sandi lah yang membuat sesuatu yang baru, melengkapi Prabowo. Sandi mengetengahkan ide-ide millenial dan emak-emak.
Tanpa ada yang baru, pemilih Prabowo akan berpikir second-best, memilih Prabowo dengan asumsi sama atau lebih baik daripada memilih Jokowi.
Pemilih Prabowo yang dominan massa 212 tidak melihat Prabowo ini mewakili keislaman mereka. Misalnya, ketika Prabowo menunjuk Djoko Santoso sebagai ketua tim sukses. Djoko adalah tokoh sekuler dan "pembabtisan" Djoko dilakukan dengan pemberian keris, ala Jawa, pada hari ulang tahun Djoko di kediamannya.
Namun, massa Islam yakin bahwa Prabowo akan lebih membela Islam dibanding Jokowi. Sehingga, kembali kepada teori, Prabowo adalah the second best.
Dalam pengembangan teori second-best yang dikaitkan para ahli dengan “arrow's impossibility theorem”, hubungan preferensi sosial yang datang dari preferensi pemilih individulal, menuju aggregat, akan terjadi sempurna jika tidak ada diktator atau kekuatan yang merusak “social choice rule”. Dengan hanya dua calon, di mana Jokowi sebagai petahana, potensi mengendalikan “social choice” terjadi.
Teori the second-best kembali diperlihatkan Prabowo dan Jokowi pada akhir babak pertarungan mereka. Prabowo yang semula akan melawan Jokowi sampe titik darah penghabisan dan memanggil notaris untuk membuat surat wasiat, akhirnya memilih isu persatuan bangsa, bertemu Jokowi dan mengakui kekalahannya.
Jokowi juga melihat pilihan second-best untuk menjaga persatuan. Keduanya kemudian memilih dihujat pendukung-pendukungnya, karena mengurangi persepsi pendukung bahwa pilihan mereka selama ini murni, tidak terdistorsi.
Penutup
Penggunaan kedua teori di atas sebenarnya hanya untuk membuka diskusi. Teori ini sebenarnya teori mikro ekonomi dan welfare ekonomi, yang mungkin bisa dikembangkan untuk menganalisa situasi politik pilpres, dengan meminjam teori itu sebagai model logik.
Namun, itu tetap meninggalkan pertanyaan besar, jika kita memasukkan teori besar, seperti teori konspirasi, apakah pertarungan Jokowi vs Prabowo ini sudah di desain sempurna sejak awal? Apakah Prabowo terlibat dalam desain ini? Mengapa perlu ada desain ini?
Jika kita masuk ke arena itu, maka dua teori semula menjadi kurang indah digunakan. Dan kita menjadi akan bertanya, apakah Indonesia suatu saat punya kesempatan menentukan capres secara transparan, akuntabel dan jujur?
*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
SUMBER