DEMOKRASI - Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 telah dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo dan KH Maruf Amin. Namun demikian, kemenangan itu tak serta merta membuat Presiden Petahana, Jokowi bisa leluasa memilih bawahannya untuk memimpin Indonesia lima tahun mendatang.
Hal ini tentu kontras dengan pernyataan Jokowi yang berkali-kali menyatakan bahwa kepemimpinannya kali ini tak akan dipusingkan dengan beban politik.
Menurut pengamat politik Igor Dirgantara, pemerintahan Jokowi-Maruf di periode 2019-2024 akan banyak diisi dengan politik transaksional.
Hal itu berkenaan dengan sistem presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden yang membawa Jokowi-Maruf ditopang banyak parpol besar.
"Politik transaksional tidak bisa dihindari dalam sistem pemerintahan presidensial yang menopang sistem koalisi pemenangan akibat adanya presidential threshold 20%," kata Igor kepada Kantor Berita RMOL, Rabu (3/7).
Setidaknya, Jokowi-Maruf telah diusung oleh tujuh parpol dan ditambah dukungan dua parpol baru. Mereka adalah PDIP, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, Hanura, PKPI, PSI, dan Perindo.
Igor pun berpandangan ada komposisi khusus untuk membagi 'kue' koalisi petahana yang diisi banyak parpol ini.
"Komposisi ideal adalah 60% kader parpol profesional, 40% teknokrat profesional di luar parpol. Atau bisa saja jika semua kementrian diambil dari parpol, maka wakil menterinya dari kalangan teknokrat," jelasnya.
Baginya, hal yang penting yang perlu dipikirkan matang oleh petahana adalah kemampuan untuk menentukan indikator sebelum memilih sosok pengisi jabatan strategis yang bakal diisi oleh masing-masing parpol pendukung.
"Tentunya kompetensi manajerial, perolehan suara pemilu legislatif 2019, dan lobby politik ketum parpol adalah indikator penting bagi-bagi 'kursi menteri'. Tidak ada makan siang gratis, apalagi terkait dukungan politik," tandasnya.
SUMBER