Penulis: Trijon Aswin*
Kata-kata bernada ancaman berkali-kali terlontar dalam pidato Presiden Terpilih Joko Widodo di Sentul International Covention Center, Bogor, Minggu (14/7/2019) malam. Dalam pidatonya itu Jokowi mengancam siapa saja yang akan menghalangi kebijakannya. Jokowi berulang kali mengucapkan kata “hati-hati”. Dia juga gunakan kata “saya hajar”, dan kata-kata lain yang menunjukkan tingkat keseriusannya.
Kita tidak tahu, apakah kalimat bernada ancaman itu ada dalam teks pidato disiapkan atau memang improvisasinya sendiri. Sebab, dalam pidato selama sekitar 30 menit itu, kertas putih yang dipegangnya nyaris tak pernah dilihat. Kita juga tak tahu, apakah kertas putih itu teks pidato atau apa.
Dia juga mengancam birokrasi yang tidak cepat melayani dan memberi izin. “Akan saya cek sendiri, akan saya kontrol sendiri, begitu saya lihat tidak efisien atau tidak efektif, saya pastikan akan saya pangkas dan saya copot pejabatnya.
Ada dua hal yang perlu kita soroti. Pertama, ancaman kepada birokrasi itu, dan kedua penggunaan diksi-diksi bernada ancaman tersebut.
Peringatan kepada birokrasi sudah amat sering diulangi Presiden dalam periode pertama pemerintahannya ini. Pertanyaannya adalah mengapa Presiden Joko Widodo perlu sampai berulang kali mengingatkan hal itu. Dalam logika normal, mestinya pejabat birokrasi sudah paham apa tugasnya, sehingga tak perlu diberi peringatan.
Jadi, kalau nyatanya Presiden Joko Widodo berkali-kali menyampaikan peringatan yang sama, berarti ada sesuatu yang tidak normal. Sebab, kalau sudah diingatkan berkali-kali, tak tepat lagi disebut peringatan, tapi bisa dibaca sebagai ultimatum.
Maka substansinya adalah pada kekuatan perintah presiden, bukan pada kepatuhan anak buah. Hal ini terpulang pada kapasitas pribadi presiden sendiri. Jika mau lengkap, memang presiden harus mempunyai kemampuan intelektual agar bisa memadukan mulai dari aspek filosofis sampai teknis. Sehingga keputusan yang dikeluarkannya mempunyai sistematika yang jelas. Dia juga harus punya kemampuan menjadi eksekutor yang efektif, serta memiliki obligasi moral yang kuat.
Lalu berkaitan dengan penggunaan diksi-diksi keras. Pilihan kata dalam pidato di Bogor kemarin mengingatkan kita pada beberapa pidato Jokowi sebelumnya. Hampir setahun lalu di tempat yang sama dia juga pernah berbicara kepada relawannya agar berani kalau diajak berkelahi. “Tapi jangan ngajak, lho. Kalau diajak (berantem), tidak boleh takut,” kata Jokowi yang disambut riuh pendukungnya. Sebelumnya dia juga pernah menggunakan kata “tak tendang” (saya tendang).
Mengapa diksi-diksi keras itu terucapkan dalam pidato seorang kepala negara? Bisa jadi, ini semua bersumber dari gaya pidato Jokowi. Hampir setiap berpidato, Jokowi sering melakukan improvisasi di luar teks. Ada kesan Presiden seperti tak mau terbelenggu dengan naskah pidato. Ketika berbicara bebas, Jokowi memang mampu memainkan diksi-diksi yang menarik perhatian.
Gaya ini berbeda dengan beberapa presiden terdahulu. Pak Harto misalnya sangat ketat dan setia pada naskah. Praktis tak pernah Soeharto berpidato, apalagi yang resmi, tanpa teks pidato yang disiapkan Sekretariat Negara. Penyiapan naskah pidato pun dilakukan ekstrateliti, dan ditulis oleh pakar-pakar terbaik di bidangnya.
Soeharto berbicara tanpa teks hanya ketika pertemuan santai di depan petani, nelayan atau ketika menerima tamu di peternakan pribadinya di Tapos, Bogor. Itu pun, karena pengalaman panjangnya menjadi presiden, Pak Harto mampu berbicara soal teknis secara sangat rinci.
Susilo Bambang Yudhoyono juga disiplin dengan teks pidato. Hanya saja, karena perkembangan teknologi, belakangan dia tidak lagi membacakan hard-copy, melainkan menggunakan teleprompter yang ditempatkan sekitar satu meter di depannya. Dengan demikian, SBY bisa beraksi dengan berbagai ekspresi seolah-olah tanpa teks.
Saking setianya pada teks, SBY pernah berhenti sejenak ketika menyampaikan pidato kenegaraan di depan sidang parpipurna DPD, 19 Agustus 2009, gara-gara teleprompter-nya mati. Menunggu alat itu kembali normal, SBY tak melakukan improvisasi untuk memecah keheningan.
Bahkan untuk sekadar jumpa pers pun, SBY selalu menggunakan teleprompter agar tak salah berkata-kata. Konsistensi membaca pidato sesuai teks membuat para presiden itu nyaris tak pernah salah ucap.
Diksi yang kasar atau bernada ancaman fisik, menurut kita, jelas bukan pilihan kata yang layak keluar dari mulut seorang presiden. Apa pun konteksnya, dan apa pun bunyi lengkapnya, kata itu tak pantas.
Kekeliruan seperti itu bisa teratasi jika Jokowi mulai membiasakan diri untuk berpidato sesuai naskah yang disiapkan pembantunya.
Memang, tidak semua presiden membaca teks dalam berpidato. Bung Karno, misalnya. Tapi, dia jelas seorang orator ulung dengan pilihan kata sangat sempurna. Habibie juga jarang membaca teks, namun dia sangat menguasai teknis yang disampaikannya. Abdurrahman Wahid juga begitu. Selain faktor keterbatasan fisik, namun khalayak sangat paham spektrum pengetahuan Gus Dur amat luas. Atau Jokowi juga punya kelebihan seperti mereka? (*)
*) Pimred Nusantara News
SUMBER