DEMOKRASI - Kebijakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyerahkan penanganan dua orang jaksa yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) kepada Kejaksaan Agung disesalkan banyak pihak.
Sebab, pengembalian dua jaksa tersebut dinilai bisa melemahkan langkah hukum yang seharusnya berjalan tegas.
"Hal tersebut dapat melemahkan proses penegakan hukum yang melibatkan aparat penegak hukum," kata Pengajar Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Padang, Miko Kamal dalam keteranga tertulisnya kepada redaksi, Selasa (2/7).
Selain itu, ia berpandangan bahwa alasan pimpinan KPK yang menyebut kurangnya alat bukti terhadap dua jaksa tersebut tidak masuk akal.
"Selama ini, tidak pernah KPK melakukan OTT sebelum mereka memiliki alat bukti yang kuat. Jika ini benar terjadi, berarti profesionalitas KPK pantas dipertanyakan," sambungnya.
Bak gayung bersambut, ia juga menyoroti sikap Kejaksaan Agung yang terkesan memaksakan kehendak agar KPK menyerahkan penanganan dua jaksa kepada mereka. Diakuinya, hal itu merupakan sikap yang tidak pantas yang dapat menyebabkan semakin menipisnya kepercayaan masayarakat atas penegakan hukum di Indonesia.
"Dengan diambilalihnya penanganan 2 orang jaksa tersebut, sulit membantah persepsi masyarakat bahwa institusi Kejaksaan sedang berupaya melindungi kepentingan jangka pendek Korps Kejaksaan. Sebaliknya, kepentingan masyarakat dalam penegakan hukum antikorupsi menjadi terabaikan," jelasnya.
Atas kejadian ini, sinyalemen Jaksa Agung yang merupakan kader partai politik adalah biang kerok utama rusaknya penegakan hukum di Indonesia makin menguat.
Oleh karena itu, kata Miko, tak ada alasan lain untuk Presiden Joko Widodo berdiam diri dan tak mengambil langkah tegas untuk mengembalikan dua jaksa itu kepada KPK.
"Jika mengaku bukan sebagai presiden boneka atau presiden yang berada di bawah kendali pemegang kepentingan, Jokowi harus berani memerintahkan Jaksa Agung mengembalikan penanganan 2 Jaksa yang terkena OTT tersebut kepada KPK," tandasnya.
SUMBER