OLEH: ALDI GULTOM
"TIBA-tiba saya teringat Pak Benny". Begitu judul catatan kecil Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan alias LBP di halaman facebook-nya tadi pagi.
Pak Benny yang Luhut maksud tak lain tak bukan adalah almarhum Jenderal TNI (Purn) Leonardus Benyamin (Benny) Moerdani atau disingkat LBM. Mantan Panglima ABRI dan Pangkopkamtib di era Soeharto.
Dalam legenda orang-orang hebat di negeri ini, Benny dijuluki Raja Intel. Entah kebetulan, tanggal pelantikannya sebagai Panglima ABRI, 29 Maret 1983, tak berjarak jauh dari dimulainya operasi pembunuhan preman-preman atau yang dikenal dengan fenomena Petrus (penembak misterius) yang berlangsung di seluruh Indonesia.
Kembali ke catatan Luhut. Mantan Komandan pasukan anti-teror pertama di Indonesia yaitu Datasemen 81 (Den-81) itu pada suatu pagi minggu lalu memutuskan untuk berziarah ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Nasional Kalibata.
Luhut menggambarkan secara dramatis keheningan jiwanya ketika berada di pusara almarhum Benny.
"Saya memberi hormat penuh lalu mendoakan agar arwahnya diterima di sisi Nya sesuai dengan amal jasanya sewaktu masih hidup. Kemudian saya sentuh batu nisannya. Saya baca tulisan di nisan itu, beliau meninggal pada 29 Agustus 2004, setelah dirawat beberapa waktu di RSPAD Gatot Soebroto. Usianya 72 tahun. Relatif masih muda," tulis Luhut.
"Beberapa lama saya pandang pusaranya yang sederhana, sesederhana ribuan pusara lain di TMP Kalibata yang seolah mengisyaratkan bahwa bila wafat, hanya gundukan tanah seluas 1 x 2 meter itulah yang tersisa. Betapa pun kayanya seseorang, betapa berkuasanya sewaktu masih sehidup; hanya tanah itu yang menandakan bahwa ada sesosok manusia yang pernah hidup di dunia," lanjutnya.
Seterusnya, Luhut mengungkapkan betapa mendalam kesan yang ia dapat dari sosok Benny Moerdani yang ia kagumi sejak dirinya masih perwira menengah.
Secara tersirat Luhut mengakui Benny sebagai "mentor" kemiliteran. Darinya ia belajar kepemimpinan dan kemiliteran. Luhut katakan, pengaruh Benny-lah yang membuat dirinya tertarik pada masalah-masalah intelijen, di antaranya dalam memelihara jaringan (networking) dengan berbagai tokoh di dunia.
Luhut memang dikenal sebagai salah satu "golden boys" binaan Benny semasa Benny menjabat Pangab.
"Saya kagum bahwa loyalitas (Benny) kepada pimpinan negara dan NKRI tidak perlu dipertanyakan lagi. Setiap kata atau tindakannya mencerminkan, menurut istilah masa kini, kesetiaan yang tegak lurus ke atas," tulisnya.
Benny yang Luhut kagumi memang terkenal sebagai loyalis Soeharto. Meski hubungannya dengan Soeharto pada akhirnya rusak, sampai wafat Benny tetap setia menjaga nama baik Soeharto, bahkan konon pasti berang kepada siapapun yang menjadikan Soeharto bahan ejekan.
Selain karena kesetiaannya pada sang penguasa Orde Baru, Benny juga fenomenal karena latar belakang minoritas ganda yang disandangnya (Indo-Katolik) tak mampu menghadang dirinya meroket ke puncak karir ketentaraan, walaupun tidak memiliki pengalaman teritorial dan sekolah staf komando sebelumnya. Hal ini dituliskan pakar militer Indonesia, Salim Said, dalam bukunya "Dari Gestapu Ke Reformasi".
Menarik mengamati betapa melankolis Luhut menggambarkan kekagumannya pada almarhum Benny dalam catatan di halaman Facebook itu. "Hingga hari ini saya tidak mengecewakan harapan bapak!" tutup Luhut.
Luhut yang dikenal publik adalah perpaduan tiga karakter: militer, politisi, pebisnis. Dia orang dekat Presiden Jokowi. Bayangkan, empat jabatan strategis di periode pertama pemerintahan Jokowi pernah ia genggam. Sebagai Kepala Staf Kepresidenan, Menteri ESDM (Pelaksana tugas), Menko Polhukam dan Menko Kemaritiman. Oleh sebagian kalangan yang mengamati kiprahnya, Luhut digelari "Menteri Segala Urusan". Ya, terkadang ia mengurusi hal-hal yang bukan bidangnya di pemerintahan; selama itu terkait dengan kelanggengan kekuasaan Jokowi.
Namun belakangan, peran Luhut dianggap meredup setelah ketidakhadirannya saat Jokowi dan Prabowo Subianto bertemu di fasilitas MRT Jakarta, pada Sabtu (13/7). Sebuah hal tak lumrah. Luhut sebelumnya selalu mendampingi Jokowi untuk urusan-urusan penting, termasuk mendampingi Jokowi setiap bertemu Prabowo. Sebut saja kala Jokowi bertandang ke kediaman Prabowo di Hambalang pada 31 Oktober 2016 silam.
Sebelum pertemuan di MRT itu terwujud, Luhut kerap menampilkan diri ke publik sebagai mediator komunikasi dua tokoh nasional itu. Namun konfigurasi tokoh yang mendampingi Jokowi ketika bertemu Prabowo berkata lain. Jokowi hanya tampak ditemani Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Ketua TKN Erick Tohir, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan.
Nama terakhir itu disebut Pramono, yang juga politikus senior PDIP, sebagai pemeran penting dalam menjembatani pertemuan Jokowi dan Prabowo.
"Pak Budi Gunawan ini kan Kepala BIN. Beliau bekerja tanpa ada suara. Dan alhamdulillah apa yang dikerjakan hari ini tercapai," kata Pramono di FX Sudirman, usai pertemuan.
Analis politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago, berpendapat, ketidakhadiran Luhut bisa menjadi sinyal ketokohannya memudar di lingkaran Jokowi.
"Selama ini yang menonjol itu memang Luhut, namun belakangan ada Moeldoko (Kepala Kantor Staf Kepresidenan) dan Wiranto (Menko Polhukam)," ujar Pangi dalam wawancara dengan Kantor Berita RMOL, Minggu (14/7).
Informasi di kalangan terbatas bahkan menyebut Luhut merupakan satu di antara beberapa faktor penghambat terwujudnya perjumpaan Jokowi-Prabowo, selain dua jenderal lain di lingkaran Jokowi yaitu Menko Polhukam Wiranto dan Kepala Staf Presiden Moeldoko.
Kembali ke peristiwa Luhut di pusara Benny Moerdani. Tindak-tanduk Luhut selaku politisi tak mungkin berdiri terpisah dari konteks politik yang ada. Sekilas kaitan antara melankolisnya Luhut mengenang Benny dengan keadaan politik yang menyangkut dirinya belakangan.
Dengan segala kepercayaan dan kekuasaan yang diberikan Soeharto kepada Benny, pada akhirnya hubungan mereka retak setelah Benny memberanikan diri "mengkritik" gurita bisnis putra-putri Soeharto.
Setelah totalitas pengabdian, Benny tersingkir dari pusat kekuasaan Orde Baru akibat kenekatannya sendiri. Dalam kisah Luhut, mungkin ada perbedaan. Namun, situasi politik belakangan ini seakan mengajak kita memberi arti pada memoarnya tentang Benny.
Bisa jadi Luhut sedang merasakan sesaknya putaran roda nasib, seperti yang pernah dialami idolanya. Tapi, tentu kita hanya bisa menebak-nebak isi hati Luhut kala ia takzim di pusara Benny Moerdani.
SUMBER