DEMOKRASI - Komisaris Independen PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) Roy Maningkas mengajukan surat permohonan pengunduran diri dari jabatannya di perusahaan baja tersebut. Surat tersebut sudah disampaikan sejak 11 Juli 2019 lalu.
Ditemui di Kementerian BUMN, Roy menjelaskan duduk perkara permohonan pengunduran dirinya. Hal tersebut didasari oleh pengujian Blast Furnace dipaksakan untuk selesai dalam dua bulan agar dapat diterima PT Krakatau Steel, padahal begitu banyak item yang harus diuji keandalan dan keamanan, tidak mungkin hanya diuji dalam dua bulan, padahal dalam kontrak minimal 6 bulan pengujian.
"Untuk itu saya mengajukan surat kepada Kementerian BUMN dengan dissenting opinion Project Blast Furnace dan sekaligus surat permohonan pengunduran diri sebagai Komisaris Independen PT Krakatau Steel untuk mendapatkan perhatian dari kementerian BUMN agar Negara tidak dirugikan," kata Roy, di Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (23/7/2019).
Sebenarnya, Roy mengungkapkan, sejak 11 Juli 2019, permohonan pengunduran diri sebagai Komisaris Independen dengan alasan-alasan tersebut di atas bukanlah untuk konsumsi publik tetapi prosedur korporasi biasa. Pengunduran dirinya akan berlaku efektif 30 hari setelah tanggal diajukannya surat permohonan, yakni 11 Agustus 2019.
"Namun, respon Kementerian BUMN yang negatif dengan dissenting opinion, saya anggap tidak proporsional, yaitu menerima permohonan pengunduran diri saya tanpa menyinggung substansi dissenting opinion hanya dijawab melalui WA (WhatsApp) bahwa mereka tidak puas dengan dissenting opinion saya," ujarnya.
"Padahal posisi saya sebagai komisaris independen adalah menjaga kepentingan pemegang saham merah putih dan pemegang saham publik sebagai pemegang saham perseroan," tambah Roy.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, persiapan operasi Project Blast Furnace PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dimulai sejak 2011. Saat ini sedang dimulai beroperasi, dan PT Krakatau Steel sudah mengeluarkan uang sekitar US$ 714 juta atau setara Rp 10 triliun. Terjadi over-run atau membengkak Rp 3 triliun, dari rencana semula Rp 7 triliun.
Roy menyebutkan, dewan komisaris sudah berkali-kali memberikan surat kepada direksi PT KS dan kementerian BUMN yang isinya adalah mengingatkan dan bahkan meminta pertimbangan seluruh pihak termasuk kepada Kementerian BUMN terkait proyek Blast Furnace ini, yaitu:
1. Bahwa keterlambatan penyelesaian Project Blast Furnace yang sudah mencapai 72 bulan.
2. Harga Pokok Produksi (HPP) slab yang dihasilkan Project Blast Furnace lebih mahal US$ 82/ton jika dibanding harga pasar. Jika produksi 1,1 juta ton per tahun, potensi kerugian PT Krakatau Steel sekitar Rp 1,3 triliun per tahun.
3. "Dipaksakannya" beroperasi Blast Furnace hanya untuk dua bulan kemudian akan dimatikan dengan alasan jangan sampai menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Klaim dari kontraktor Blast Furnace dari MCC CERI (Capital Engineering and Research Incorporation Limited), padahal bahan baku hanya tersedia dua bulan. Kontraktor sendiri bersama-sama dengan PT KS sudah 3 kali melakukan amandemen untuk penguluran waktu.
4. Dewan Komisaris sudah meminta berkali-kali agar dilakukan audit bisnis maupun audit teknologi untuk mengetahui keandalan, keamanan, dan efisiensi Project Blast Furnace ini. Hingga saat ini tidak dilakukan.
5. Tidak adanya kepastian siapa-siapa yang bertanggung jawab terhadap proyek ini, baik tanggung jawab teknis maupun kerugian keuangan. Pernyataan tanggung jawab hanya dibuat oleh level manager dari kontraktor.
SUMBER