DEMOKRASI - Sejumlah politisi dan tokoh publik mulai 'guyub' pasca gelaran pemilihan presiden 2019. Tokoh dan partai politik yang sebelumnya berseberangan dalam kontestasi lima tahunan itu kini mulai merapatkan diri berbungkus rekonsiliasi.
Seperti halnya pertemuan Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri yang hari ini duduk dalam satu meja di Teuku Umar, Jakarta yang tak lain kediaman Megawati. Padahal dalam Pilpres kemarin, dua parpol ini mengusung paslon berbeda.
Melihat fenomena ini, Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra, menilai bahwa dalam hal ini yang paling dirugikan adalah rakyat.
"Sangat tampak bahwa rakyat, khususnya pemilih jadi obyek eksploitasi. Dalam hal ini ekspolitasi emosi oleh politisi dan pemegang kekuasaan," kata Azmi dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Rabu (24/7).
Pemilih, kata Azmi, seakan sibuk dengan simbol hingga membuat anekdot kompetisi politik saling ejek.
"Ini bahaya, kebanyakan politisi dan akhirnya diikuti pemilih hanya main pada persoalan tataran emosi, bukan lagi tema dan solusi menuju keadilan rakyat kecil, kesejahteraan sosial, dan keadikan sosial," sambungnya.
Dengan kondisi seperti saat ini, dimana para politisi dan partai politik tak lagi berseteru, masyarakat diimbau sadar menjaga persatuan dan tak terpancing dengan eksploitasi emosi. Rakyat harus lebih cerdas dan tak mudah terkontaminasi dengan hal-hal yang memecah belah.
"Sudah diketahui secara umum dalam politik tidak ada musuh yang abadi, yang ada adalah kepentingan. Maka apapun akan dilakukan sepanjang frekuensi kepentingannya sama," jelasnya.
"Melihat kondisi arah dan gerakan partai politik saat ini menunjukkan bahwa partailah yang jadi dominan pengendali di republik ini, bukan kedaulatan rakyat," tandasnya.
SUMBER