DEMOKRASI - Prabowo Subianto-Sandiaga Uno meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menjadikannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024.
Untuk meyakinkan 9 hakim konstitusi, tim hukum Prabowo mengutip pandangan pengamat asing.
"Sejalan dengan pandangan bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo mempunyai gaya pendekatan otoritarian seperti Orde Baru adalah pendapat dari Tom Power, kandidat doktor dari Australian National University yang risetnya terkait dengan politik di Indonesia, termasuk gaya pemerintahan Joko Widodo," demikian bunyi dalil gugatan yang ditandatangani oleh Bambang Widjojanto (BW) dkk.
Menurut BW, hal itu tertuang dalam makalah Tom Power di konferensi tahunan 'Indonesia Update' di Canberra, Australia pada september 2018.
Masih menurut BW dkk, Tom Power menyoroti hukum kembali digunakan oleh pemerintahan Jokowi untuk menyerang dan melemahkan lawan politik.
"Proteksi hukum juga ditawarkan sebagai barter kepada politisi yang mempunyai masalah hukum," ujarnya.
Proteksi lain, adalah menguatnya lagi pemikiran dwi fungsi militer. Hal-hal tersebut bagi Tom Power, kata BW dkk, adalah beberapa karakteristik otoritarian Orde Baru yang diadopsi oleh pemerintahan Jokowi.
Sebagai bukti pandangan itu, tim hukum Prabowo menyertakan dua link berita yaitu 'Jokowi's authoritarian turn' dan 'Jokowi's Authoritarian Turn and Indonesia's Democratic Decline'.
"Mengenai karakteristik pemerintahan Jokowi mirip Orde Baru sekaligus menjelaskan bagaimana modus kecurangan pemilu di era otoritarian tersebut juga dilakukan oleh Paslon 01 yang juga Presiden petahana Jokowi, yaitu strategi pengerahan ABG yang di era Orde Baru adalah poros ABRI-Birokrasi-Golkar. Modus ini di era Pemerintahan Jokowi bereinkarnasi menjadi tiga poros pemenangan, yaitu Aparat-Birokrasi-BUMN-Partai Koalisi," tegas BW dalam halaman 38.
Lalu bagaimana dengan pandangan guru besar Universitas Melbourne Prof Tim Lindsey?
Dalam gugatan baru ini, BW dkk masih mengutipnya. Namun, beberapa redaksi kalimat diperbaiki di gugatan kedua itu.
"Profesor Tom berpendapat dengan pengaturan sistem politik yang buruk, maka pemenang pemilu akan cenderung bertindak koruptif untuk mengembalikan biaya politiknya yang sangat mahal," kata BW yang mengutip dari link berita eastasiaforum.org dan dijadikan sebagai bukti P-32.
Namun, perbaikan gugatan yang diserahkan ke MK pada Senin (10/6/2019) kemarin, itu tidak diterima MK. Pihak MK tetap memakai dalil gugatan yang diajukan per 24 Mei 2019.
"Nah permohonan yang diregistrasi adalah permohonan awal yang tanggal 24 Mei, sementara yang disebut pemohon perbaikan permohonan itu di cap tanda terima dan dilampirkan dalam permohonan yang diregis itu. Itu yang pertama. Sementara yang perbaikan yang disebut perbaikan pemohon bertanggal 10 Juni itu dijadikan lampiran dalam permohonan yang diregistrasi," kata Juru Bicara MK, Fajar Laksono, di MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (11/6/2019).
SUMBER