DEMOKRASI - Temuan yang disampaikan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam audit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan tahun 2018 harus ditindaklanjuti secara serius.
Begitu ditegaskan koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyinggung temuan-temuan BPKP tentang hasil audit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan tahun 2018 yang dipaparkan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR pada 24 Mei 2019 lalu.
Dari hasil audit BPKP yang dipaparkan di depan Komisi IX DPR itu, menurut Timboel, tampak beban DJS untuk Biaya Manfaat untuk INA CBGs dan Kapitasi sebesar Rp 98,4 triliun. Sementara dalam Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) 2018 diproyeksikan Biaya Manfaat sebesar Rp 87,33.
"Ada kelebihan sebesar Rp 11 triliun. Ini artinya Direksi BPJS Kesehatan belum mampu mengendalikan Biaya Manfaat,” ujarnya.
Dalam temuannya, BPKP menyatakan terjadi inefisiensi pembayaran klaim layanan di RS sebesar Rp 819 miliar karena kontrak antara RS dan BPJS Kesehatan menggunakan tarif untuk kelas RS yang lebih tinggi.
"Klaim layanan RS ini kami catat ada di 94 RS yang tersebar lebih dari 14 provinsi. Tidak hanya itu, tingginya klaim INA CBGs juga dikontribusi oleh fraud yang dilakukan oleh oknum RS seperti tindakan re-admisi dan up-coding," tuturnya.
Dari sisi pendapatan, total Iuran peserta selama 2018 sebesar Rp 82,23 triliun. Ini sudah melebihi RKAT 2018 yang dianggarkan sebesar Rp 79,77 triliun.
Namun bila dipilah berdasarkan segmen kepesertaan, pendapatan iuran dari segmen Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) adalah sebesar Rp 8,96 triliun atau 11 persen, masih di bawah target yang dinyatakan dalam RKAT yaitu sebesar Rp 9,23 triliun.
"Tentunya persoalan PBPU ini terus terjadi tiap tahun, apalagi utang iuran dari PBPU pun sangat tinggi di atas 2 triliun," terangnya.
Temuan BPKP yang lain menyatakan kolektibilitas iuran PBPU hanya 53,72 persen saja--di bawah target yang ditetapkan Direksi yaitu 60 persen -yang menyebabkan potensi piutang tidak tertagih menjadi lebih besar.
"Itu juga harus dijadikan evaluasi oleh presiden untuk mengukur kinerja direksi BPJS Kesehatan,” ujarnya.
Target kontribusi iuran dari PBPU yang tidak tercapai serta masih tingginya utang iuran, disertai dengan klaim pelayanan kesehatan oleh PBPU sebesar 31 persen dari total klaim seluruh peserta, menggambarkan bahwa segmen PBPU harus banyak dibenahi khususnya tentang iuran klas 3 dan klas 2 yang memang belum sesuai dengan harga iuran sesuai hitungan aktuaria.
Menurut Timboel, merujuk Peraturan Presiden 82/2018 khusunya Pasal 17 ayat 2 yang mewajibkan seluruh rakyat Indonesia menjadi peserta JKN paling lambat 1 Januari 2019 lalu, persoalan utang iuran PBPU ini bisa diatasi bila saja seluruh kementerian dan lembaga khususnya kepolisian, Imigrasi dan pemerintah daerah mau mendukung Program JKN.
"Namun hingga saat ini lembaga-lembaga tersebut belum mau melaksanakan seluruh ketentuan tersebut,” ujar Timboel.
Terkait adanya temuan BPKP yang menyatakan bahwa piutang iuran dicatat sebesar satu bulan tunggakan dari yang seharusnya tunggakan sampai dengan 12 bulan, yang saat ini menjadi 24 bulan sesuai Perpres 82/2018, sehingga penyajian piutang menjadi rendah, sepatutnya di-follow up.
"Saya mendorong direksi BPJS Kesehatan memberikan klarifikasi atas temuan ini kepada publik dan menjelaskan alasannya. Temuan ini mendukung rendahnya kinerja Direksi BPJS Kesehatan dalam menarik piutang iuran," terangnya.
Temuan BPKP yang lain tentang kepatuhan Badan Usaha (BU) yang menyatakan bahwa ada 50.475 BU yang belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, 52.810 karyawan belum didaftarkan BU ke program JKN, dan 2.348 BU melaporkan gaj karyawannya di bawah upah sebenarnya merupakan hal yang sudah sejak lama terjadi.
Meski sudah ada Inpres 8/2017 tentang optimlisasi JKN yang mewajibkan Kejaksaan, Pengawas Ketenagakerjaan dan Pengawas Pemeriksa (Wasrik) BPJS Kesehatan melakukan penegakan hukum secara bersamaan, hasilnya belum juga signifikan mendukung peningkatan kepesertaan PPU BU.
“Menurut saya angka yang disampaikan BPKP masih jauh di bawah fakta sesungguhnya. Kalau BPKP mau merujuk kepada peserta JHT di BPJS Ketenagakerjaan maka selisih kepesertaan PPU di program JHT dan JKN selisih sekitar 2 juta peserta. Dan kepesertaan yang 2 juta tersebut akan berpotensi menambah pemasukan iuran sebesar Rp 4 Triliun kepada BPJS Kesehatan,” terangnya.
Timboel juga menyinggung perekaman dan pemeliharaan data base kepesertaan yang belum optimal seperti ditemukannya 27,44 juta data peserta bermasalah yang terdiri dari 17,17 juta peserta belum punya NIK, ada 0,4 juta NIK berisi karakter alfanumerik lain, ada 10,11 juta dengan NIK ganda dan sebagainya.
“Seharusnya persoalan ini bisa diselesaikan dengan keikutsertaan Kemendagri cq. Dirjen Dukcapil dan Pemda untuk mendata lebih baik lagi sehingga data kepesertaan bisa benar-benar uniq dengan NIK yang benar,” tutur Timboel.
Dengan berbagai temuan ini, BPKP mengusulkan BPJS Kesehatan mempercepat proses data cleansing kepesertaan bermasalah dan pemutakhiran data kepesertaan, namun dalam prosesnya jangan sampai merugikan rakyat.
Dikhawatirkan ada peserta yang didrop dari kepesertaan dalam proses pembenahan tersebut, khususnya peserta PBI dan Jamkesda.
"Proses pembenahan harus dilakukan dengan baik tanpa merugikan kepesertaan seseorang,” ujarnya.
Adapun dana kapitasi yang dibayarkan BPJS Kesehatan pun belum mampu digunakan secara maksimal karena ditemukan Rp 2,51 triliun atau 19,02 persen dana Kapitasi yang menjadi Sisa Lebih Penggunaan Anggara (SILPA) di tahun 2018 lalu.
Di tahun 2017, BPK menemukan 30 persen dana kapitasi di Puskesmas menjadi SILPA.
Adanya SILPA ini membuktikan bahwa dana yang ada tidak maksimal digunakan untuk meningkatkan kualitas puskesmas untuk bisa melayani 144 diagnosa penyakit.
Kualitas Puskesmas yang belum baik ini juga tentunya dikontribusi oleh proses rekredensialing tiap tahun yang dilakukan BPJS Kesehatan.
Hanya karena puskesmas merupakan fasilitas milik pemerintah maka secara otomatis seluruh puskesmas menjadi mitra BPJS Kesehatan, tanpa lagi dilakukan evaluasi secara obyektif, layaknya kredensialing kepada FKTP swasta seperti klinik.
Demikian juga Kapitasi berbasis kinerja pun belum dilakukan secara maksimal.
Temuan BPKP dalam proses pembiayaan kapitasi ini adalah Pembayaran Kapitasi Tidak Sesuai yang nilainya diperkirakan Rp 3,67 miliar, Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK) belum optimal yang diperkirakan sebesar Rp 46,98 miliar, dan Rujukan tidak sesuai kebutuhan sebesar Rp. 29,43 miliar.
“Seharusnya potensi-potensi kerugian BPJS Kesehatan seperti ini bisa dieliminir yaitu dengan memastikan FKTP benar-benar bekerja dengan baik,” ujarnya.
Bila di 2017 tingkat rujukan dari FKTP sebesar 12,5 per dan naik di tahun 2018 menjadi 16,4 persen membuktikan bahwa FKTP khususnya puskesmas belum mampu menangani 144 diagnosa penyakit yang ditetapkan Kemenkes sebagai imbalan atas kapitasi yang diterima.
Akibatnya klaim INA CBGs semakin membesar dan membuat defisit semakin besar.
Kemenkes harus memastika bahwa sumber daya kesehatan khususnya pemerataan dokter bisa terlaksana dengan baik. Insentif harus terus diberikan dan dinaikkan agar banyak dokter yang mau ditugaskan ke daerah-daerah terpencil.
“Kami berharap BPJS Kesehatan melakukan re-kredensialing lebih maksimal lagi kepada selurh FKTP dan terus mengevaluasi dan mensupervisi FKTP agar mampu menangani 144 diagnosa penyakit,” tuturnya.
SUMBER