DEMOKRASI - Team Pembela Kedaulatan Rakyat (TPKR) secara resmi diluncurkan, Sabtu (1/6/2019) di Jakarta Pusat. Sedikitnya 8 tokoh nasional yang juga berpfofesi sebagai advokat ditambah seratus advokat lainnya, membentuk TPKR guna melakukan pendampingan hukum bagi masyarakat yang terjerat berbagai kasus makar dan kasus lainnya sepanjang aksi Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat pada tanggal 21-22 Mei 2019.
Diketahui, penangkapan dan penahanan tokoh-tokoh paling fenomenal seperti Eggi Sudjana, Bachtiar Nasir, Aktivis Tionghoa Leuis Sungkarisma, dan dua Jenderal Purnawirawan, Jenderal Sunarko serta Kivlan Zen dengan tuduhan makar ditambah dengan mudahnya UU ITE diterapkan untuk mengkriminalisasi masyarakat yang geram dengan kecurangan pemilu 2019, telah memicu konflik hukum yang menjadi polemik dan makin tajam di tengah masyarakat.
Belum lagi dengan kasus kematian 700 petugas KPPS yang hingga kini masih menjadi misteri. Puncaknya adalah kematian demonstran dan tiga anak di bawah umur dalam aksi 21-22 Mei 2019 yang tewas diduga akibat peluru tajam.
Oleh karena itu, sebagaimana penjelasan dalam undangan yang diterima redaksi, guna membendung masifnya penangkapan dan tuduhan makar atas militan dan pejuang demokrasi yang notabene adalah pendukung Capres Prabowo Subianto, dibentuklah Lembaga Team Pembela Kedaulatan Rakyat (TPKR).
Tokoh-tokoh advokat ini sedikitnya akan melakukan advokasi atas 4 bidang kasus. dan dipastikan akan bergerak selepas launching hari ini.
Panitia launching TPKR, Andrianto SIP menyatakan, launching TPKR, yang terdiri dari para advokat yang berdiri dipihak Rakyat, menyatakan siap berjuang untuk membela hak-hak pejuang demokrasi pasca aksi 21-22 Mei di depan Bawaslu.
Acara juga menyuguhkan diskusi menarik dengan tema “HAM, Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat” yang dibawakan oleh sedikitnya delapan tokoh nasional yang kerap mengkritisi pemerintah.
Delapan Tokoh nasional itu diantaranya, Ahmad Yani, Margarito Kamis, Natalius Pigau, Syahganda Nainggolan, Asfinawati, dr Jose Rizal, Ramadhan, Papang Hidayat dan Prof Hafid Abass, dimana mereka didukung oleh seratus advokat yang telah mendaftar masuk ke dalam TPKR.
Margarito Kamis yang mendukung pembentukan TPKR mengatakan sungguh ironis, 73 tahun setelah perjuangan kemerdekaan, isu yang sama telah disebutkan Bung hatta pada dekade tahun 30-an. Isu yang di satu abad lalu itu diperjuangkan oleh pahlawan kemerdekaan Indonesia, kini kembali disuarakan lagi di zaman Jokowi dan era kapolri Jenderal Pol Tito karnavian.
Margarito menyarankan sebelum TPKR bergerak, sebaiknya menemui Kapolri terlebih dahulu untuk menyuarakan persoalan ini, mempertanyakan bagaimana bisa terjadi penangkapan dan tuduhan makar demikian mudah digunakan untuk menangkap sesorang.
“Kita mesti pastikan bahwa (kasus-kasus) ini mesti dihentikan, kita berharap Tito karnavian dapat merespon dengan baik,” tandas Margarito Kamis.
Sementara itu, Mantan Pimpinan Komnas HAM, Natalius Pigai mengatakan ada tiga hal yang membuat rakyat tidak percaya dengan hasil Pemilu. Pertama, adanya rasa ketidakpercayaan rakyat terhadap pemilu 2019. “Harusnya pemilu ini menghadirkan kejujuran, tetapi rakyat dapat melihat kecurangan secara langsung yang berkaitan langsung dengan suara mereka. Belum lagi persoalan pemilih hantu dan adanya pemilih asing yang tertera dalam DPT,” ujar Pigai.
Kedua, hak untuk ikut dipilih, Kesalahannya ada pada pemerintah, dimana ditentukan 20 persen presidential treshold yang dinilai oleh Natalius Pigai sebagai kesalahan Pemerintah karena membatasi rakyat dalam kebebasan menentukan pilihannya karena adanya presidential treshold.
Ketiga, tidak adanya kesempatan bagi politisi untuk bertarung secara fair. Pigai mencontohkan, peranan Bupati atau ASN yang berpihak pada salah satu calon dengan memaksa atau menekan orang lain untuk memilih calon yang sudah ditentukan.
“Ini juga contoh adanya ‘abuse of power’ yang dilakukan kepala daerah terhadap lawan politiknya,” kata Pigai.
Akibat kecurangan dan faktor lainnya yang disebutkan Pigai, menurut dia, Indonesia akan mengalami penurunan tingkat demokrasi di mata dunia internasional.
SUMBER