logo
×

Kamis, 11 April 2019

Teguh Santosa: Indonesia Bisa Menjadi Alternative Power dalam Percaturan Politik Dunia

Teguh Santosa: Indonesia Bisa Menjadi Alternative Power dalam Percaturan Politik Dunia

NUSANEWS - Indonesia berpeluang menjadi alternative power dalam percaturan politik dunia. Modal yang dimiliki Indonesia cukup besar. Dunia pun masih mengingat legacy Bung Karno dan diplomat-diplomat senior Indonesia di masa lalu dalam mempromosikan dan mendukung kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika pasca Perang Dunia Kedua.

“Indonesia pernah menjadi pioneer dan front-liner kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Legacy ini masih diingat dunia,” ujar pengamat hubungan internasional Teguh Santosa dalam dialog di Radio Digital Bravos, di Jakarta, Rabu (10/4).

Tetapi, sambung dosen hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini, untuk menjadi alternative power Indonesia harus memiliki kebijakan luar negeri yang memang bisa membuat negara-negara lain menghormati Indonesia dalam arti yang sesungguhnya, bukan sekadar menghormati secara formalitas dan protokoler.

“Ada dinamika di dunia internasional seiring dengan kemunculan Republik Rakyat China (RRC) yang dianggap oleh Amerika Serikat sebagai penantang dominasi mereka di berbagai kawasan. Bagaimana dalam setting baru ini kita bisa, pertama, mengamankan kepentingan nasional. Kedua, ikut menentukan agenda-agenda internasional yang penting dan yang sejalan dengan kepentingan nasional kita,” ujarnya dalam dialog yang dipandu Budhie Soenarso itu.

Belt and Road Initiative (BRI) yang diperkenalkan Presiden China Xi Jinping pada tahun 2012 awalnya memang terlihat menjanjikan bagi negara-negara di kawasan yang sedang mencari sumber pembiayaan alternatif untuk pembangunan. China dengan lihai menawarkan konektivitas melalui program infrastruktur kepada negara-negara yang memang masih memiliki persoalan dengan infrastruktur.

“Tetapi tetap saja tidak ada makan siang gratis. Ini yang belakangan mulai dipahami. Istilah yang digunakan untuk model jerat utang China ini adalah loan to own, meminjamkan untuk memiliki,” ujar mantan Ketua bidang Luar Negeri PP Pemuda Muhammadiyah itu.

Teguh mencontohkan kasus pembangunan pelabuhan di selatan Sri Lanka yang karena merugi akhirnya kini dikuasai oleh China. Di Malaysia pemerintahan Mahathir Mohamad mengkritisi infiltrasi ekonomi China yang terjadi selama era Muhammad Najib. Di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte yang terjepit di antara AS dan China mulai mereview kebijakan luar negerinya setelah melihat agresivitas China yang semakin mengkhawatirkan.

Selain itu Vietnam juga merevisi kebijakannya terhadap AS. Setelah beberapa tahun lalu AS mencabut embargo senjata untuk Vietnam, kini hubungan kedua negara semakin baik karena mereka sedang menghadapi lawan yang sama.

Sementara Thailand dan Laos kelihatannya lebih mesra dengan China dibandingkan negara ASEAN yang lain.

“Dari sini terlihat, bagaimana agresivitas China memecah negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara yang bersengketa dengan China di perairan Laut China Selatan (LCS) dihadapi China. Tetapi yang tidak berhadapan dengan China di LCS menjadi teman mereka,” masih kata Teguh.

Dia menambahkan, walaupun Indonesia tidak menjadi salah satu claimant state di Laut China Selatan, namun Indonesia tetap harus ekstra hati-hati menghadapi manuver China.

Faktanya beberapa waktu lalu sempat terjadi insiden yang memperlihatkan betapa agresivitas China di perairan yang disengketakan itu juga mengancam Indonesia. Kapal-kapal nelayan China yang mencari ikan di wilayah yang mereka klaim sebagai perairan perikanan tradisional China selalu didampingi kapal perang di barisan belakang.

“Sistem politik di suatu negara mempengaruhi karakter negara itu ketika berinteraksi dengan negara lain. China adalah negara satu partai. Sehingga apapun yang datang dari China merupakan entitas negara itu. Berbeda dengan kita yang memiliki state actor dan non state actors, private sectors,” jelasnya.

Selain itu China juga pernah bereaksi sangat negatif ketika Indonesia memberi nama baru untuk perairan di utara Pulau Natuna, Kepulauan Riau.

“China protes karena di dalam imajinasi kolektif mereka, wilayah Laut China Selatan itu sampai ke Bangka dan Belitung. Selama ini mereka mendapat keuntungan dari penamaan tradisional ini,” kata mantan Ketua bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu.

Teguh juga mengingatkan drama proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung yang awalnya dikerjakan Indonesia bersama negara lain, namun mendadak sebelum ground breaking diberikan kepada China sampai-sampai terjadi keributan di beberapa kementerian terkait Indonesia. 

Hal lain yang disampaikannya, Indonesia perlu menjaga wilayah di ujung-ujung ALKI 1, ALKI 2 dan ALKI 3, dan harus memastikan kawasan-kawasan itu steril dari kehadiran pihak asing.

“Menyampaikan hal-hal seperti ini bukan berarti saya tidak ingin berinteraksi dan menjalin persahabatan dengan negara lain. Tetapi ini adalah soal menjaga kepentingan nasional. Kita harus melindungi kepentingan nasional kita, baru setelah itu berinteraksi dengan negara manapun dengan dignity (harga diri),” ujar alumni University of Hawaii at Manoa di Honolulu ini.

“Nonsense kalau kita bisa berinteraksi dengan negara lain namun di saat yang sama mengabaikan kepentingan nasional,” tegasnya.

Teguh juga menyoroti posisi Indonesia di ASEAN yang menurutnya sudah tertinggal dibandingkan beberapa negara sahabat. Singapura dan Malaysia sudah lebih dahulu meninggalkan Indonesia dan ASEAN serta telah menjadi world class players.

Sementara Thailand dan Vietnam yang beberapa tahun lalu masih bisa diimbangi, belakangan ini kelihatannya sudah memperlihatkan tanda-tanda hendak melampaui Indonesia.

Kembali ke gagasan menjadi alternative power, Teguh mengatakan, penting bagi Indonesia untuk menciptakan branding baru yang lebih kokoh dan tidak sekadar pencitraan. National branding ini berangkat dari slogan yang dapat diimplementasilan untuk memperkuat pondasi ekonomi dan sosial, menciptakan gelombang industrialisasi yang dibutuhkan untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak di masa bonus demografi ini, memajukan sektor pendidikan, selain tentu saja menjamin kepastian hukum dan keadilan.

“Sehingga tidak ada alasan bagi negara lain memandang remeh dan lemah bangsa ini,” demikian Teguh.

SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: