NUSANEWS - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membenarkan tengah mengalami dinamika di internal. Hal itu lantaran munculnya petisi dari sekitar 114 penyidik KPK yang meminta pimpinan KPK mengakomodir sejumlah tuntutan, salah satunya terkait tidak disetujuinya pemanggilan dan perlakuan istimewa terhadap saksi tertentu.
"Tadi memang ada sejumlah masukan saran dan juga permintaan dari para pegawai KPK yang bekerja di bidang penindakan. Dan dokumen (petisi) tersebut udah diterima oleh pimpinan," kata Febri kepada wartawan di Gedung KPK, Kuningan Jakarta, Rabu (10/4).
Febri mengatakan, petisi dari ratusan penyidik dan penyelidik KPK itu merupakan dinamika biasa yang terjadi di internal KPK. Menurutnya, pimpinan KPK telah mengagendakan pertemuan untuk mengakomodir sejumlah tuntutan dari penyidik dan penyelidik KPK itu.
"Jadi, dinamika yang terjadi saat ini di KPK kami pandang sebagai sebuah proses agar komunikasi antara pegawai KPK dengan pimpinan itu tersalurkan dan bisa diselesaikan dengan baik," kata Febri.
"Pimpinan akan mengagendakan pertemuan dengan para pegawai dalam waktu yang tidak terlalu lama. Jadi segera akan didengar apa masukan tersebut secara langsung," sambungnya.
Febri menambahkan, dinamika yang terjadi di internal KPK terjadi bukan kali pertama. Bahkan, pernah terjadi sampai harus menempuh jalur hukum. Namun, lanjut dia, semua yang terjadi adalah terkait institusi KPK.
"Dinamika seperti ini sangat mungkin bisa terjadi dan saya kira dulu juga pernah ada ya keberatan dan bahkan dulu ada jalur hukum yang ditempuh oleh pegawai ke PTUN," kata Febri.
"Bagi Pimpinan, ini merupakan semacam checks and balances. Dengan satu indikator penting yaitu demi kepentingan institusi KPK. Itu yang paling penting," imbuhnya.
Berikut 5 poin tuntutan dalam petisi itu:
1. Terhambatnya penanganan perkara pada ekspose tingkat kedeputian
Penundaan pelaksanaan ekspose penanganan perkara dengan alasan yang tidak jelas dan cenderung mengulur-ngulur waktu hingga berbulan-bulan sampai dengan perkara pokoknya selesai. Hal tersebut berpotensi menutup kesempatan untuk melakukan pengembangan perkara pada tahapan level pejabat yang lebih tinggi serta hanya terlokalisir pada level tersangka atau jabatan tertentu saja.
2. Tingginya tingkat kebocoran dalam pelaksanaan penyelidikan tertutup
Beberapa bulan belakangan hampir seluruh satgas di penyelidikan pernah mengalami kegagalan dalam beberapa kali pelaksanaan operasi tangkap tangan yang sedang ditangani karena dugaan adanya kebocoran Operasi Tangkap Tangan (OTT). Kebocoran ini tidak hanya berefek pada munculnya ketidakpercayaan (distrust) di antara sesama pegawai maupun antara pegawai dengan struktural dan/atau Pimpinan, namun hal ini juga dapat mengakibatkan tingginya potensi risiko keselamatan yang dihadapi oleh personel yang sedang bertugas di lapangan.
3. Tidak disetujuinya pemanggilan dan perlakuan khusus terhadap saksi
Pengajuan saksi-saksi pada level jabatan tertentu ataupun golongan tertentu menjadi sangat sulit. Hal ini mengakibatkan hambatan karena tidak dapat bekerja secara optimal dalam mengumpulkan alat bukti. Selain itu, terdapat perlakukan khusus terdapat saksi. Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu terdapat perlakuan istimewa kepada saksi yang bisa masuk ke dalam ruang pemeriksaan melalui pintu basement, melalui lift pegawai, dan melalui akses pintu masuk pegawai di lantai 2 Gedung KPK tanpa melewati lobi Tamu di lantai 1 dan pendaftaran saksi sebagaimana prosedur yang seharusnya.
4. Tidak disetujui penggeledahan pada lokasi tertentu dan pencekalan
Tanpa alasan objektif, seringkali pengajuan lokasi penggeledahan pada kasus-kasus tertentu tidak diizinkan. Penyidik dan penyelidik merasakan kesempatan untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti semakin sempit, bahkan hampir tidak ada. Selain itu, pencekalan terhadap orang yang dirasakan perlu dilakukan pencekalan tidak disetujui tanpa argumentasi yang jelas. Hal ini dapat menimbulkan berbagai prasangka.
5. Adanya pembiaran atas dugaan pelanggaran berat
Beberapa pelanggaran berat yang dilakukan oleh oknum di penindakan tidak ditindaklanjuti secara gamblang dan transparan penanganannya oleh pihak Pengawas Internal. Hal ini seringkali menimbulkan pertanyaan di kalangan pegawai, apakah saat ini KPK sudah menerapkan tebang pilih dalam menegakkan kode etik bagi pegawainya. Di satu sisi, kode etik menjadi sangat perkasa sekali, sedangkan di sisi lain, bisa menjadi sangat senyap dan berjalan lamban, bahkan kerapkali perkembangan maupun penerapan sanksinya pelan-pelan hilang seiring dengan waktu.
SUMBER