Oleh: Edhy Prabowo*
DEBAT putaran kedua telah selesai dilakukan. Dari sekian tema yang diperdebatkan, ada beberapa catatan yang perlu disampaikan dan diluruskan. Dengan harapan, masyarakat dapat mendapat informasi utuh yang memenuhi unsur kebenaran.
Pertama, kami sangat menyayangkan dalam perdebatan kemarin Pak Jokowi menyerang sisi pribadi Pak Prabowo tentang kepemilikan lahan di Kalimantan Timur dan Aceh Tengah. Padahal, KPU melarang bila perdebatan menyerempet sisi pribadi.
Sebagaimana penjelasan yang disampaikan Pak Prabowo, bahwa lahan tersebut adalah lahan HGU milik negara yang dapat diambil kapan saja bila negara membutuhkan. Pak Prabowo rela pasang badan mengelola lahan dengan segala keterbatasan, karena Beliau tak ingin lahan luas tersebut dikelola oleh pihak asing. Wakil Presiden Bapak Jusuf Kalla, sangat mengerti sejarah pengorbanan Pak Prabowo ini.
Dari usaha kelola lahan tersebut, banyak warga yang dipekerjakan, banyak anak-anak yang disekolahkan, banyak kontribusi untuk lingkungan sekitar. Dan yang perlu diketahui bersama, salah satu keuntungan usaha kelola lahan tersebut adalah untuk membiayai kampanye Pak Jokowi saat Pilgub DKI tahun 2012 lalu yang jumlahnya sangat besar.
Ini bukan kali pertama Pak Jokowi berbicara menyimpang dari konteks dan lebih menyerang sisi personal. Pada debat perdana, Pak Jokowi yang seharusnya menyampaikan capaian atau gagasan tentang masalah hukum dan HAM, juga malah menyerang Pak Prabowo dengan Partai Gerindra.
Kami sangat menyesalkan dan menyayangkan apa yang dilakukan Pak Jokowi. Beliau seperti lupa dengan sejarah bahwa Pak Prabowo dan Partai Gerindra adalah bagian yang pernah membesarkan namanya hingga bisa besar seperti sekarang ini. Kami tak menyangka Pak Jokowi bisa sampai hati menyerang sisi pribadi.
Selain itu, kami juga menyayangkan selama debat kemarin, Pak Jokowi menyampaikan data-data yang tidak benar. Padahal, Pak Jokowi memiliki instrumen lengkap untuk menyampaikan data. Aneh rasanya, bila seorang kepala pemerintah memaparkan data-data yang tidak sahih dan bertabrakan dengan fakta sebenarnya.
Soal konflik agraria Pak Jokowi bilang hampir tidak ada. Padahal kita bisa lihat fakta sebenarnya. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) merilis, sebanyak 41 orang tewas dan 546 orang dianiaya, 51 orang tertembak dan 940 petani dan aktivis dikriminalisasi.
Soal impor jagung, Pak Jokowi bilang tahun 2018 hanya impor 180 ribu ton. Padahal aslinya menyentuh angka 730 ribu ton. Begitu juga soal kebakaran hutan yang diakui dapat diatasi padahal masih terus terjadi dan terbilang masih tinggi. Bahkan angka kebakaran hutan di tahun 2018 yakni sebesar 194.757 hektare, lebih besar ketimbang tahun sebelumnya sebesar 165.528 hektare. Klaim Pak Jokowi tidak benar.
Belum lagi kekacauan data soal jumlah produksi beras, jumlah produksi sawit, jumlah kilometer pembangunan jalan, hingga jumlah pembangunan infrastruktur internet berkapasitas 4G di seluruh Indonesia. Seluruh data yang disampaikan tidak sesuai dengan kenyataan.
Kondisi pangan kita saat ini sangat memprihatinkan. Swasembada pangan masih jauh dari kenyataan. Kondisi hidup para petani juga masih dilanda kecemasan. Petani karet, petani sawit dan petani kopra terus menjerit karena harga yang terus anjlok dan mengancam sendi kehidupan. Keberpihakan pemerintah kepada nasib para petani layak dipertanyakan.
Kinerja yang tak sesuai arah, penyampaian data yang salah dan diperparah dengan serangan pribadi kepada Pak Prabowo semakin menunjukkan bahwa Pak Jokowi tidak memiliki cukup unsur untuk seorang pemimpin. Pak Jokowi seperti kehabisan cara untuk menyampaikan gagasan, sehingga harus menyerang sisi pribadi Pak Prabowo.
Meski demikian, seluruh rakyat Indonesia bisa menilai dengan mata kepala sendiri tentang kedewasaan dan kebijaksanaan Pak Prabowo. Beliau tidak menyerang balik saat pribadinya diserang Pak Jokowi. Beliau juga tidak emosi, tetap tenang dan menghadapi dengan senyuman.
Itulah "The Real Prabowo" yang perlu diketahui bersama-sama. Beliau selalu tegar menghadapi serangan dan tidak pernah ingin balik menyerang. Pak Prabowo seorang ksatria yang ingin memenangkan pertarungan tanpa merendahkan lawan.[]
*) Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Ketua Fraksi Gerindra DPR RI.
SUMBER