APABILA seorang Jenderal mengatakan pihaknya menerapkan strategi perang total dalam menghadapi lawan, itu berarti dia akan mengobarkan peperangan semesta dalam berbagai sendi kehidupan.
Jenderal Besar A.H. Nasution mengatakan, perang total memerlukan pembelaan di segala sektor kehidupan Rakyat. Dan perang itu akan menjadi sempurna hanya apabila seantero potensi rakyat diolah secara seksama.
Perang total merupakan penamaan lain dari perang semesta, tidak mudah untuk menggelorakannya. Karena dalam konsep ini perang tidak hanya dilancarkan secara militer, melainkan juga perang dagang, perang sosial budaya, dan perang psikologis. Aktor-aktor yang terlibat didalamnya pun tidak hanya tentara reguler, tetapi seluruh lapisan warga negara.
Kiranya berlebihan apabila Kepala Staf Kepresidenen Jenderal (Purn) Moeldoko selaku komandan tempur Jokowi mengumandangkan perang total menghadapi Prabowo Subianto. Karena itu bertentangan dengan slogan politik yang menggembirakan, konsekuensinya menjadi fatal: mereka yang mati, atau kita yang mati.
Sungguh fatalistik jalan pikiran yang sedemikian, kubu petahana seolah-olah tengah terancam oleh kubu oposisi dengan segala keterbatasannya. Entahlah, mungkin memang benar-benar dihantui ancaman kekalahan yang bergentayangan siang dan malam.
Tentu kita jadi bertanya, apabila petahana telah yakin kepada hasil berbagai lembaga survei yang memenangkannya lalu mengapa harus perang total? Ada dua kemungkinan, pertama survei yang memenangkannya Jokowi itu tidak faktual adanya. Kedua, keunggulan elektabilitas Jokowi atas Prabowo tidak signifikan.
Apapun, itu merupakan hak bagi kubu Jokowi untuk mengobarkan perang total untuk mengalahkan Prabowo. Namun yang perlu diingat ada sejumlah syarat agar bisa menerapkan perang total. Syarat utamanya yaitu adanya ketotalan dari pucuk pimpinan perang. Maksudnya, pimpinan panglima tertinggi yang tidak sebatas simbolik konstitusionil tetapi aktif dan riil berperang di garis depan. Begitu kata Jenderal Nasution dalam The Fundamentals of Guerrilla Warfare.
Layaknya Panglima Agung Amerika Serikat dalam Perang Dunia II Jenderal Douglas Mac Arthur sang penguasa Pasifik yang total memimpin pasukan tidak hanya berperang di garis depan tetapi juga berperan sebagai sosiolog, ekonom, psikolog sekaligus politisi. Kekuatan rakyat negeri-negeri Pasifik yang anti fasis dan anti komunis dipersatukan dalam sebuah gerak perlawanan. Begitulah konsep perang total yang benar, bukan sembarang perang.
Tatkala perang total dijalankan sebagai perang sembarang maka pantas kiranya dalam debat kandidat capres, sosok Jokowi yang semula dikenal tenang berubah menjadi tampil agresif. Bahkan Jokowi tak sungkan menyerang sisi pribadi Prabowo secara langsung keluar dari lisan tanpa bahasa kiasan. Sungguh di luar pakem budaya Jawa.
Pada sisi lain, Jokowi menyodorkan sejumlah klaim yang berbanding terbalik dengan realita yang ada. Akibatnya tak tanggung-tanggung dua lembaga swadaya masyarakat (LSM) kelas dunia yaitu organisasi lingkungan hidup Greenpeace dan organisasi hak asasi manusia KontraS membantah mentah-mentah. Mau taruh di mana muka petahana!
Ya sudah lah, penguasa selalu punya cara untuk menutupi hoax-nya. Namun yang kita garis bawahi, jangan jadikan perang total sebagai legitimasi untuk mengampanyekan kebohongan-kebohongan. Karena sekali lagi, perang total bukan perang sembarang!
Dengan segala kuasa kubu petahana, apabila tidak menahan diri melakukan perang total maka akan menyulut sebuah bentuk perang baru. Yaitu perang asimetris yang tak sehat. Peperangan tak lagi linear antara sesama kontestan. Pertarungan Pilpres bukan lagi kompetisi antara Jokowi dan Prabowo. Tetapi bisa bergeser menjadi pertempuran antara negara melawan Prabowo. Demokrasi kita akan rusak, karena alat-alat negara terlibat dalam perebutan kekuasaan.
Untuk itu, patut lah kiranya kita kembali kepada etika sebagaimana dicontohkan Presiden SBY selama kepemimpinanya. Pada Pilpres 2009, SBY tidak memobilisir segala kekuatan negara untuk mengalahkan kompetitornya. Kompetisi berlangsung secara fair play, tak ada serangan-serangan pribadi kepada Megawati maupun Jusuf Kalla. Cukup satu putaran, SBY menang gemilang.
Meneladani sikap SBY, kenegarawanan justru ditunjukkan Prabowo yang tak pernah tertarik untuk menyerang balik sisi pribadi Jokowi selama kontes debat. Di sini simpati rakyat akan diraihnya, karena pemilih bimbang atau yang belum menentukan pilihan dapat jelas melihat siapa negarawan siapa peragawan.
Mohammad Hailuki
Tenaga Ahli DPR-RI/Kader Muda Partai Demokrat
SUMBER