Oleh: Pirman*
Para pendukung Jenderal kesal. Bertanya-tanya. Tak habis pikir. Mengapa sang Jenderal tak menyerang? Padahal lawannya sudah tak punya daya. Cukup sekali colek, lawan itu akan jatuh tersungkur. Kalah telak.
Tapi sang Jenderal benar-benar punya hitungan sendiri. Ia diserang secara pribadi, tetapi cukup tersenyum. Bahkan saat yang ditanya memberikan jawaban gak nyambung, Sang Jenderal tetap kalem. Santai. Woles.
Penonton perdebatan pun akhirnya memutuskan bawah Jenderal kalah. Jenderal tak kuasa membalas serangan lawan.
Jenderal jelas tidak menyerang lawan bicaranya. Ia paham etika. Ia mengerti tata krama. Meski berkali-kali disinggung pribadinya, Jenderal tak masalah. Baginya, masalah bangsa jauh lebih besar.
Maka sang Jenderal kalem. Ia ingin mengukir sejarah. Ia ingin menunjukkan kepada anak bangsa, bahwa menyerang pribadi bukan sikap kesatria, bahwa menyerang sesama anak bangsa bukan sikap dan kepribadiannya.
Karenanya sang Jenderal tak goyah. Berkali-kali timnya menyarankan untuk serangan balik. Tapi sang Jenderal teguh dengan pendiriannya.
Sang Jenderal hendak menegaskan, dirinya bukanlah tipikal yang suka mengorbankan sesama anak bangsa demi syahwat politik. Ia bukan tak mau menang debat, tetapi kamusnya tentang makna menang debat memiliki definisi yang berbeda.
Itulah alasan hingga sang Jenderal kalem saja. Ia tak peduli mantan anak buahnya itu meludahi wajahnya, karena hati sang Jenderal terlindungi lantaran budi luhurnya selama ini.
Sang Jenderal juga paham. Dalam penyergapan, saat musuh tak berdaya sudah tak seru lagi jika dilanjutkan. Maka musuh itu dibiarkan.
Alhasil, alih-alih menyelamatkan diri, musuh itu kian kalap, memuntahkan data-data terkesan wah, ternyata dusta semua.
Beberapa detik setelah itu hingga hari ini, dusta-dusta laki-laki berkemeja putih digulung setengah lengan itu dibongkar, bukan oleh sang Jenderal tetapi oleh media dan rakyat jelata.
Sang Jenderal paham, musuhnya sudah sekarat. Biarkan rakyat yang ‘menghabisinya’.
*) Penulis adalah Pecinta Keluarga Sejati
SUMBER