Oleh Yarifai Mappeaty*
(Catatan dari diskusi “Menolak Pembusukan Filsafat”)
Dua dasawarsa usia era reformasi, antara lain, ditandai oleh tampilan wajah-wajah palsu kekuasaan menghegemoni ruang publik. Seperti simulacra, meminjam Baudrillard, pemikir kontemporer asal Prancis. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, gegap narasi pencitraan mampu meredam nalar dan sikap kritis. Lantas, kemana perginya para pemikir dan media penyuara kebenaran itu sembunyi? Padahal, dahulu, mereka tak pernah lelah memantik diskursus kritis terhadap setiap upaya determinasi kekuasaan.
Di tengah kejenuhan yang tak henti-henti dipapar narasi simulcara itu, tiba-tiba muncul narasi kritis akal sehat Rocky Gerung, menghentak, membangunkan nalar publik seantero negeri. Diksi yang ia suguhkan begitu bertenaga, sehingga dengan mudah menggulung narasi simulacra tanpa ampun, seperti gulungan ombak menghapus rumah pasir di pantai. Tidak membutuhkan waktu lama, Rocky Gerung menjadi demikian populer, sehingga pantas disematkan man of the year padanya.
Kemunculan Rocky di tengah suasana publik yang sudah terbelah dua oleh kontestasi politik Pilpres 2019, mau tak mau, mesti menuai pro dan kontra. Narasi kritisnya yang tajam menghunjam ke jantung kekuasaan, membuat dirinya dielukan oleh kaum opisisi. Namun di sisi lain, ia menjadi sosok paling dibenci oleh pendukung dan penikmat kekuasaan. Tak hanya itu, mereka bahkan gerah. Sangking gerahnya, Rocky sampai dilaporkan ke institusi penegak hukum dengan menggunakan delik menista agama, lantaran dalam salah satu narasinya, Rocky menyebut kitab suci sebagai fiksi. Tetapi pada akhirnya, kemarahan para pembenci Rocky itu dapat dimaklumi. Mereka tak ingin ada pihak yang mengganggu grafik elektabilitas sang petahana. Kira-kira dalam pikiran mereka, Rocky hanya dapat dibungkam dengan delik tersebut.
Sebagai guru filsafat, kemunculan Rocky di ruang publik membuat banyak orang tiba-tiba tertarik membincangkan filsafat. Padahal, selama ini, filsafat dianggap sebagai pengetahuan tidak berguna dan membosankan. Kelas filsafat di perguruan tinggi, sepi peminat, adalah bukti mengenai hal itu. Tapi kemudian menjadi menarik berkat narasi akal sehat Rocky. Lontaran-lontaran Rocky, selain menginspirasi, juga merangsang imaginasi, membuat penulis tiba-tiba juga tertarik pada filsafat. Ketertarikan itu sampai membawa penulis mengikuti sebuah diskusi bertajuk “Menolak Pembusukan Filsafat”, yang diselenggarakan kira-kira dua pekan setelah Rocky memenuhi panggilan polisi terkait dengan tuduhan di atas.
Apa yang dimaksud dengan pembusukan Filsafat? Ekspektasi penulis mengikuti diskusi itu, adalah paling tidak, mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut untuk dibawa pulang. Selain itu, Penulis juga senang karena bakal bertemu Mochtar Pabottingi dan Goenawan Mohamad. Dua sosok legenda yang memiliki nama besar di jagad pemikiran Indonesia sejak 40 tahun lebih silam.
Dalam diskusi itu, Mochtar, sebagai pembicara pertama, lebih menekankan pada aspek etika memperbincangkan filsafat, terutama di ruang publik. Ia menganjurkan filsafat dipercakapkan dengan cara delibrasi. Yaitu, percakapan yang bebas tanpa tekanan, lapang dan tidak sesak. Mochtar tidak setuju filsafat diperlakukan sebagaimana kaum sofis yang abai pada norma-norma yang hidup di masyarakat, bahkan sampai melabraknya. Namun, Mochtar terkesan sangat berhati-hati. Ia tampaknya enggan uraiannya diasosiasikan pada sosok tertentu yang dituding sebagai pelaku pembusukan filsafat.
Lantas, sofis itu siapa? Goenawan Mohamad, pembicara kedua, menjelaskan bahwa mereka adalah yang memiliki kepandaian bicara kosong, puitis, kata-katanya seolah-olah cerdas, pendek-pendek yang mengagumkan banyak orang. Padahal dalam suatu perdebatan yang lebih jauh, mereka hanya cemplang-cemplung. “Cemplungisme,” kata Goenawan sinis, seolah ditujukan kepada sosok tertentu yang ia tidak sukai.
Kriteria sofis yang diajukan Goenawan tersebut, lantas mengingatkan penulis pada sosok pandai bicara, dulu, sewaktu masih belia di kampung. Sosok itu sangat suka berdebat dan mendebat. Dengan kemampuan lisan dan logika yang ia miliki, ia melabrak semua tatanan dan norma sosio kultural yang ada di masyarakat kala itu. Benar kata Mochtar, tidak menghargai kearifan lokal. Selebihnya, seperti gambaran Goenawan. Hebatnya lagi, ia kadang mengajukan pertanyaan yang membuat dilematis. Di jawab salah, tidak dijawab juga salah. Celakanya, jawaban yang benar hanya berasal dari dirinya sendiri yang kadang tak sesuai nalar. Apakah sosok dengan ciri seperti itu yang dimaksud Goenawan yang melakukan pembusukan pada filsafat?
Oleh karena belum ada penjelasan secara eksplisit tentang apa yang dimaksud dengan pembusukan filsafat dan siapa yang telah melakukannya, maka, Akhmad Sahal yang berbicara setelah Goenawan, tampak berusaha sekuat tenaga menjelaskan dan meyakinkan audiens. Menurutnya, pembusukan filsafat terjadi, manakala ada pihak mencoba mengklaim atau memonopoli filsafat secara sepihak untuk kepentingan tertentu. Untuk lebih jelasnya, Sahal, memberi contoh pembusukan yang terjadi pada Islam. Yaitu, manakala ada satu pihak mengklaim dirinya sebagai pembela Islam, maka pihak lain, bukan pembela Islam.
Merasa berhasil meyakinkan audiens, Sahal lebih jauh memberi contoh dengan menyebut diksi “akal sehat”. Diksi tersebut, oleh publik dipahami sebagai diksi milik Rocky Gerung. “Ketika ada pihak yang mengaku sebagai wakil akal sehat, misalnya, maka yang lain dianggap tidak sehat atau tidak berakal. Di situ akal sehat mengalami pembusukan,” ungkap Sahal kurang lebih dengan penuh percaya diri. Tidak salah lagi, para pegumul filsafat itu sedang “mengadili” Rocky, bahkan mencoba mendegradasinya melalui sebuah diskusi publik.
Donny Gahral yang tampil sebagai pembicara pamungkas. Selain hanya memaki dan mempertegas tudingan pada Rocky melakukan pembusukan filsafat, jujur, tidak ada yang orisinil dalam uraiannya. Diksi-diksi yang ia gunakan, sudah identik dengan Rocky. Ini membuktikan kalau Donny memang benar pernah belajar pada Rocky, baik secara langsung maupun tidak langsung. Setidaknya, pernyataan Rocky di ILC benar, bahwa Donny memang pernah menjadi asistennya sewaktu mereka masih bersama-sama di UI.
Mungkin, Donny memang seorang “murid” yang gerah pada pencapaian Rocky”, sebagaimana ia tunjukkan dengan berbagai lontaran yang merendahkan. Rocky seolah-olah memiliki kualitas moral yang rendah. Bayangkan ketika ia menyebut Rocky sebagai philosopher yang suka mengumbar pikiran-pikiran palsu yang merusak demokrasi. Dan, masih banyak lagi. Padahal, menurut penulis yang masih memegang teguh falsafah hidup manusia Bugis, adalah pantang bagi seorang murid merendahkan martabat seorang guru di depan publik.
Tetapi, ada satu dari Donny yang mengusik, ketika ia mengatakan bahwa ruang publik adalah tempat pikiran dipertukarkan dalam iklim perdebatan yang bebas dari kekuasaan dan uang - ini juga diksi Rocky. Dengan lontaran itu, Donny seolah-olah ingin memberi kesan kalau Rocky telah membawa filsafat ke ruang publik, demi uang. Benarkah? Bukan apa. Donny yang pernah menjadi asisten Rocky, tentu mengetahui banyak hal tentang pribadi Rocky. Apakah kemunculan Rocky di ruang publik dalam setahun terakhir ini, kira-kira karena uang? Sementara yang kita ketahui 15 tahun mengajar di UI, Rocky tidak pernah mau menerima gaji. Dan, sampai sejauh ini, belum ada satupun negasi dari pihak UI mengenai hal itu. Ah, biar waktu dan Rocky sendiri yang menjawabnya.
Selanjutnya, apakah benar Rocky melakukan pembusukan filsafat sesuai pandangan Goenawan, Sahal dan Donny? Harus diakui bahwa narasi akal sehat yang dibangun Rocky di ruang publik, memang membuat kagum banyak orang. Tetapi, kalau disebut cemplang-cemplung dan pandai berbicara kosong yang seolah-olah cerdas, menurut kriteria Goenawan, maka mestinya Rocky sudah menjadi bahan tertawaan dan olok-olok. Tetapi faktanya, kemunculan Rocky justeru selalu ditunggu-tunggu publik. Selain itu, kelihatan kalau Rocky memang cerdas, bukan seolah-olah. Bahkan kecerdasan Rocky bertutur untuk membuat logika lebih mudah dipahami oleh awam, jelas Rocky bukan tandingan Goenawan, meskipun ia juga seorang ahli pikir pilih tanding yang dikenal melalui tulisan-tulisannya.
Sebagai seorang pegumul filsafat yang mengumbar narasi akal sehat di luar tembok istana, maka tidak salah menyebut Rocky sebagai seorang sofis. Tetapi sofis yang penulis maksud di sini adalah mereka yang menyuarakan kebenaran sebagai hasil proses pergumulan filsafat. Bukan sofis seperti yang dikuatirkan Mochtar. Bukan pula sofis cemplung-cemplung versi Goenawan, apalagi sofis kaki-tangan penguasa. Terbukti sepanjang hidupnya, Rocky tetap kukuh memilih berdiri di barisan oposisi. Padahal, kalau ia mau berada di dalam tembok istana, Rocky sudah melakukannya pada era Gus Dur dan SBY.
Sebaliknya, Goenawan yang kita kenal dengan pemikiran kritisnya melalui Catatan Pinggir di Majalah Tempo semenjak 1970-an, sekarang di mana? Melalui cuitan-cuitannya di media sosial, akhirnya kita maklum kalau Goenawan kini telah pensiun dari oposisi kritis. Mengapa? Mungkin ia sudah merasa renta dan lelah menjadi oposisi selamanya. Apalagi kekuasaan di lain pihak, pada dasarnya memang memiliki tabiat yang suka merangkul dan menjinakkan.
Lalu, bagaimana dengan definisi Sahal tentang pembusukan filsafat? Tendensius dan sembrono. Terlalu memaksakan diri untuk menstigmatisasi Rocky sebagai pelaku pembusukan filsafat. Definisi dan contoh kasus yang ia ajukan sangat mudah dipatahkan, cukup mengajukan sebuah pertanyaan. Yaitu, dengan menggunakan definisi yang sama, maukah Sahal mengecam mereka yang berada di lingkaran kekuasaan yang mengklaim dirinya, “Saya Pancasila – Saya NKRI,” sebagai orang-orang yang melakukan pembusukan terhadap Pancasila dan NKRI? Kalau tidak, maka Sahal harus terima disebut sebagai sofis yang tidak jujur.
Setidaknya, ada tiga hal yang menjadi catatan penulis terkait diskusi itu. Pertama, Goenawan, Sahal, dan Donny yang diidentifikasi oleh banyak nitizen sebagai sebagai sofis istana, gerah pada narasi akal sehat Rocky yang telah merugikan istana secara politik. Kedua, Rocky, melalui kemampuan bertuturnya di atas rata-rata, telah berhasil membuat filsafat memiliki daya tarik bagi publik. Bahkan, narasi akal sehat yang dibangun Rocky, pengaruhnya jauh lebih dahsyat ketimbang Catatan Pinggir Goenawan Mohamad yang telah ia kreasi, hampir setengah abad lamanya.
Ketiga, sebuah catatan khusus untuk sinisme Donny atas kecamannya pada Rocky yang dianggapnya telah memiliki jamaah filsafat. Memang ada yang salah dengan itu? Kalau agama (Islam) saja memiliki majelis zikir, mengapa tidak bagi filsafat untuk memiliki majelis pikir? Bukankah dengan cara itu, filsafat tidak lagi menjadi eksklusif, bahkan dapat diminati banyak orang? Dengan begitu, guru filsafat seperti Donny, bisa laku mengajar dimana-mana.
“Filsafat adalah proses pencarian kebenaran,” kata Goenawan. Oleh karena itu, bagi para pencari kebenaran, kejujuran adalah hal sangat penting. Terkait hal itu, dalam perjalan pulang, penulis teringat almarhum ayah. Pada suatu malam di serambi depan rumah kami saat bulan purnama, beliau memberi wejangan tentang kejujuran dan kebenaran.
“Degaga ada tongeng nawinru seddie to pabbelleng,” petuahnya. Maknanya kurang lebih, “Kebenaran hanya bisa dilahirkan oleh kejujuran.”
*) Penulis, peserta diskusi.
Kalipasir, Cikini, 2/2019 (*)
SUMBER