logo
×

Jumat, 08 Februari 2019

Anak Bisa Pidanakan Orang Tuanya Lewat RUU PKS

Anak Bisa Pidanakan Orang Tuanya Lewat RUU PKS

NUSANEWS - Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jazuli Juwaini mengungkapkan bahwa dalam RUU Penghapusan Kekerasan Sekual (RUU PKS) seorang anak bisa mempolisikan orang tuanya. Hal ini dikarenakan adanya pasal pemaksaan perkawinan dalam RUU tersebut.

Menurutnya, pemaksaan perkawinan didefinisikan pada Pasal 17 sebagai kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk menyalahgunakan kekuasaan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau tekanan psikis lainnya. Sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan.

Jazuli menegaskan bahwa definisi ini bisa ditafsirkan sepihak terhadap kearifan dalam kehidupan keluarga masyarakat beradat atau budaya timur (relasi orang tua dan anak).

“Sehingga memungkinkan seorang anak mengkriminalisasi orang tuanya yang menurut persepsinya ‘memaksa’ menikah. Padahal bisa jadi permintaan atau harapan orang tua itu demi kebaikan anaknya,” katanya kepada Kiblat.net melalui siaran persnya pada Kamis (07/01/2019).

Ia juga berpendapat bahwa ada yang tidak beres dalam pasal Pemaksaan pelacuran. Perbuatan ini didefinisikan pada Pasal 18 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain.

Fraksi PKS berpendapat, definisi tindak pidana ini harus dilengkapi dengan pengaturan bahwa pelacuran dan/atau perzinahan atas alasan apapun secara prinsip Pancasila dan Agama dilarang di republik ini.

“Sehingga secara otomatis pemaksaan pelacuran dan/atau perzinahan menjadi tegas terlarang,” tuturnya.

Selain itu, Jazuli turut menyoroti pasal yang mengatur perbudakan seksual. Menurut Pasal nomor 19, perbudakan seksual adalah Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain dalam jangka waktu tertentu.

Pihaknya menilai definisi harus diperjelas agar tidak merusak tatanan lembaga perkawinan yang memiliki aturan/norma tersendiri secara agama, terutama dalam hal kewajiban serta adab-adab hubungan seksual suami-istri yang sah.

SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: