ANDAIKAN tidak menjadi viral di media sosial (medsos) mungkin pernyataan yang disampaikan Habib Bahar Smith tidak lebih dari yang umumnya dapat ditemukan dalam postingan video dan naratif oleh banyak orang di medsos, seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp belakangan ini.
Caci maki, sumpah serapah, dan bahkan tebaran ancaman terhadap sesama anak bangsa, selalu dengan mudah bisa kita unduh dari berbagai sumber. Intensitasnya pun sangat tinggi utamanya menjelang ajang kontestasi Pemilu dan Pemilu Presiden Wapres 2019 ini.
Pernyataan Habib Bahar Smith di hadapan Jemaah pengajian, dan kemudian diposting menjadi viral itu, juga berisikan kecaman dan ucapan keras yang ditujukan kepada Presiden Jokowi. Perbuatan Habib Bahar ini mendapat perhatian khusus, sehingga Jokowi Mania dan Cyber Indonesia pun melaporkannya kepada kepolisian pada tanggal 1 Desember 2018 lalu.
Gayung pun bersambut. Kepolisian dengan antusias mengusut kasus ini. Ceramah agama yang disampaikan Habib Bahar terkait dengan pelaksanaan Aksi 4 Nopember 2016 (Aksi 411) dengan menyebut “Jokowi Banci” atau “Jokowi hanya memberikan kemakmuran kepada orang Cina di Indonesia” itu dianggap sebagai ujaran kebencian (hate speech).
Sosok Habib Bahar pun jadi kian popular. Simpati kepadanya dan keingintahuan tentang kiprahnya semakin mengental di kalangan masyarakat pengguna media sosial.
Jeratan Hukum Berlapis
Dalam surat panggilan kepolisian kepada Habib Bahar sebagai saksi tertanggal 3 Desember 2018, setidaknya ada beberapa jerat hukum yang dipersiapkan berlapis untuk seorang ulama muda ini. Pertama, polisi menjerat Habib Bahar melakukan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud Pasal 16 junto Pasal 4 Huruf b Angka 1 UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras (PDR).
Habib Bahar diduga telah melakukan perbuatan yang “menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa dengan membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain”. Ancaman hukumannya sebenarnya tergolong pidana sedang, yakni ancaman dipenjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Kedua, ulama berusia muda ini masih akan diduga melakukan pelanggaran Pasal 45 Ayat (2) jo Pasal 28 Ayat (2) UU 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ancaman pidana yang menghadang Habib Bahar makin berat jika merujuk pada dugaan pelanggaran Pasal 45 A Ayat (2) ini, dimana ia diduga melakukan dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Dan ketiga, sekaligus diberlakukannya Pasal 207 KUHP. Norma hukum ini menyebutkan, barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan hukum akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan. Perbuatan pidana ini tergolong pidana ringan.
Tampaknya penyidik enggan menggunakan dugaan delik pidana umum ini. Tidak diketahui apakah karena ancaman pidana ini ringan, ataukah ingin menghilangkan kesan bahwa polisi berkerja semata untuk melindungi martabat presiden, ataukah perlindungan dari diskriminasi memang lebih penting untuk penegakan hukum terhadap perbuatan seorang Habib Bahar?
Menghina Presiden atau SARA?
Ketika pada 4 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menghapus pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Pasal 134, Pasal 136 dan 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebenarnya tidak ada lagi jerat hukum yang bisa dengan mudah mempidanakan seseorang karena ujaran yang dianggap penghinaan kepada presiden.
Sebenarnya putusan MK ini didasarkan pada usaha untuk menghindari adanya kecerobohan penafsiran untuk sengaja menjerat siapa saja yang dianggap menghina presiden. Tetapi pernyataan Habib Bahar tadi bukan berarti luput dari perangkap sangkaan yang bisa menjeratnya sebagai pesakitan. Masih dengan perangkap KUHP, menurut versi polisi, Habib Bahar dapat diduga melanggar Pasal 207 KUHP tentang Kejahatan Terhadap Penguasa Umum.
Uniknya, dalam kasus penghinaan terhadap presiden sebagaimana penggunaan Pasal 207 KUHP tersebut, bukanlah Jokowi selaku korban yang melaporkan Habib Bahar kepada polisi melainkan para pendukungnya, yang dikenal dengan sebutan Projo. Ihwal masalah kompetensi pelapor ini sudah pernah menjadi polemik dalam kasus serupa yang dilakukan musisi Ahmad Dani. Kasus penghinaan kepada presiden dipandang sebagai delik aduan, akan tetapi polisi berkeras sebagai delik umum sehingga siapa saja bisa menjadi pelapor.
Tidak menjadi bahasan dalam tulisan ini ihwal kompetensi pelapor dalam mencermati kasus ini. Tetapi yang menarik adalah baik pelapor dan polisi tidak hanya berhenti pada perbuatan menghina presiden. Dalam menjerat Habib Bahar sebagai pesakitan, polisi juga menduga ulama nyentrik itu juga melakukan perbuatan ujaran kebencian yang bernuansa SARA (suku, agama dan ras) karena adanya ucapan Habib Bahar bahwa, “…(karena Jokowi maka) yang makmur orang Cina, yang makmur perusahaan asing dan kafir”.
Tampaknya memperkarakan Habib Bahar dengan dugaan sebagai pelaku perbuatan penghinaan kepada presiden hanya menguras energi dan wasting-time, baik bagi pelapor maupun penyidik. Memperkarakan sang habib dengan dugaan menimbulkan rasa kebencian antargolongan (SARA) terlihat lebih seksi dengan ancaman hukuman berat. Selain, tentu saja, resiko politiknya pun relative lebih “kecil”. Maklum, pernyataan Habib Bahar dikhawatirkan akan menurunkan popularitas politik karena itu proses hukumnya menjadi serius.
Menambah Kisruh
Penegakan hukum terhadap siapa saja yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum tentu saja merupakan keniscayaan demi penegakan hukum (law enforcement). Itu pada satu sisi, dan di sisi lain, setiap orang atau warga negara juga seyogyanya menjaga ucapan dan perbuatannya demi menciptakan tertib sosial. Apapun alasannya tidak ada ruang tersedia bagi warga negara untuk menebarkan kebencian. Kecuali terhadap pihak yang mengancam keutuhan bangsa dan negara.
Sayangnya, persoalannya tidak sebatas itu saja. Di tengah suasana memanas akibat polarisasi politik terkait aksi saling dukung pasangan capres menyambut Pilpres 2019 ini, kekisruhan di masyarakat telah terjadi di ruang publik. Kerentanan terjadinya konflik sosial horizontal dan konflik vertikal (friksi dengan aktor negara) begitu mudahnya tersulut. Sejujurnya pengusutan kasus ini juga akan menambah daftar kekisruhan menjelang kontestasi politik ini.
Sosok ketokohan seorang Habib Bahar bagi sebagian, atau mungkin mayoritas umat Islam yang tidak mempersoalkan pernyataannya, merepresentasikan kelompok politik di luar kekuasaan saat ini. Perlakuan tidak adil dalam proses hukum atas perbuatan pidana yang didugakan kepadanya, boleh jadi akan menjadi boomerang yang merugikan popularitas politik kekuasaan.
Seorang Habib Bahar bisa saja dimatikan langkahnya dengan hukuman maksimal sebagaimana Pasal 16 junto Pasal 4 Huruf b Angka 1 UU PDR 40/2008 dan Pasal 45 Ayat (2) jo Pasal 28 Ayat (2) UU ITE 19/2016. Akan tetapi tidak akan sebanding dengan resiko politik jelang Pilpres 2019.
Cara kita berpikir pada hari ini memang sudah terlanjur basah untuk selalu mengaitkan proses hukum dengan kepentingan politik. Pentas politik untuk mempertahankan kelanggengan kekuasaan hari ini telah mengajarkan realitas pahit demikian. Apa boleh buat. [***]
Sugito Atmo Pawiro
Ketua Tim Pengacara Habib Rizieq Shihab
SUMBER