NUSANEWS - Habib Bahar bin Smith akhirnya resmi ditetapkan sebagai tersangka usai menjalani lebih kurang 11 jam pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri.
Hal itu terkait dengan kasus ujaran kebencian kepada dan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ia dijerat dengan pasal berlapis. Yakni Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Serta Pasal 16 juncto Pasal 4 huruf b angka 1 dan Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Indivasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kendati demikian, pria dengan rambut bercat pirang itu masih tidak ditahan oleh polisi.
Menanggapi hal tersebut, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, menilai kondisi itu sebagai bentuk nyata dari tindakan diskriminatif yang dilakukan aparat hukum.
Polisi, juga disebut bertindak sigap dan cepat manakala yang dianggap sebagai pelakunya adalah umat Islam dan para tokohnya.
Demikian disampaikan Ketua GNPF Ulama, Ustadz Yuauf Muhammad Martak dalam konferensi pers-nya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (7/12/2018).
“Sebaliknya, jika pelakunya adalah nonmuslim atau mereka yang mendukung penguasa, polisi terkesan lambat bahkan mengabaikan proses yang seharusnya ditempuh,” katanya.
Atas kondisi itu, pihaknya sangat khawatir hukum di Indonesia telah menjadi alat kekuasaan.
Ia lantas mencontohkan kasus hukum yang menimpa Habib Rizieq Shihab, Bun Yani, Habib Mahdi Shahab, Ustaz Alfian Tanjung, dan sejumlah tokoh lainnya yang dengan sigap dan cepat diproses.
Sebaliknya, perlakuan berbeda dan cenderung mengabaikan dilakukan kepada mereka yang mendukung rezim.
Seperti Ade Armando, Victor Laiskodat, Permadi Arya alias Abu Janda dan Sukmawati Soekarno Putri.
“Padahal mereka juga sudah dilaporkan. Juga Royson Jordhany (16) yang menghina dan mengancam membunuh Jokowi, yang mengatakan kacung dan lainnya,” sesalnya.
Yusuf menegaskan, perlakuan diskriminatif semacam ini sangat bertentangan dengan UUD 1945.
Hal ini jelas menjadi paradoks ketika pihak yang melakukan diskriminasi justru menuduh dan memberlakukan undang-undang anti-diskriminasi kepada pihak yang justru adalah korban diskriminasi.
“Bahwa terkait tindakan tidak adil dan tidak berimbang tersebut, kami menyerukan agar hukum dikembalikan fungsinya sebagaimana mestinya,” katanya.
“Kepolisian RI harus bertindak profesional dan proporsional sesuai UU dan ketentuan yang berlaku,” pungkasnya.
Diberitakan PojokSatu.id sebelumnya, Kabagpenum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Syahar Diantono menerangkan, pihaknya kini tengah mengembangkan kasus yang membelit Habib Bahar bin Smith.
Selain Bahar, penyidik juga mengejar sosok yang pertama kali menyebarkan video ceramah tersebut.
“Pemeriksaan penyidikan selanjutnya berkembang juga terkait Undang-Undang ITE, siapa yang (pertama kali) meng-upload dan menyebarkan ceramah itu,” ujar Syahar di Mabes Polri, Jumat (7/12).
Sementara itu, penyidik juga tengah fokus untuk menguatkan bukti pelanggaran UU 40 tahun 2008 tentang Diskriminasi Ras dan Etnis yang diduga dilakukan Habib Bahar.
“HBS kan dia tidak menyebarkan dan mengunggah. Makanya fokus penyidikakn HBS ke UU nomor 40 tahun 2008,” terang dia.
Sementara, pihaknya juga memastikan, saat berkas dirasa lengkap, maka akan dikirim ke Kejaksaan Agung (Kejagung).
“Penyidik akan menindaklanjuti penyidikan, kalau pemeriksaan sudah cukup, alat bukti juga cukup dan lengkap, maka akan dilakukan pemberkasan, dan langsung dilimpahkan ke jaksa,” kata Syahar.
Terlebih lagi, lanjutnya, penyidik juga sudah memeriksa Habib Bahar dan keterangan sudah dimasukkan ke dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
“Dia juga sudah diperiksa sebagai tersangka,” tambah dia.
Tak hanya itu, sambung Syahar, pihaknya juga tengah megejar sosok yang pertama kali mengunggah video ceramah Bahar tersebut.
“Pemeriksaan penyidikan selanjutnya berkembang juga terkait Undang-Undang ITE, siapa yang (pertama kali) meng-upload dan menyebarkan ceramah itu,” terangnya.
SUMBER