NUSANEWS - Dalam beberapa jam ke depan, 2018 akan segera berlalu. Semua orang saat ini tengah disibukkan dengan momen pergantian tahun. Sebelum membahas prediksi 2019, alangkah lebih baik melakukan refleksi selama 2018.
Ketua Fraksi Partai Gerindra di MPR Fary Djemi Francis mengatakan sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbanyak di dunia, Indonesia masih memiliki sederet catatan yang belum sesuai dengan cita-cita perjuangan dan tidak boleh dilanjutkan di tahun depan.
Pertama, soal konflik antargolongan. Dalam iklim demokrasi, kompetisi adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Termasuk kompetisi politik.
"Ironisnya, kompetisi politik di Indonesia belakangan ini kerap diwarnai dengan proses yang kurang sehat dan jauh dari nilai-nilai budaya leluhur bangsa," kata Fary dalam refleksi akhir tahun yang disiarkannya, Senin (31/12).
Ketua Komisi V DPR itu menjelaskan aksi saling fitnah, hujat dan mem-bully kerap disaksikan baik di media massa maupun sosial. Kompetisi yang seharusnya menjadi ajang beradu gagasan dan berlomba dalam kebaikan, justru jadi arena konflik yang memecah belah.
"Tak sedikit cerita Grup WhatsApp bubar hanya karena perbedaan pandangan politik. Sesama keluarga bahkan harus bertengkar hanya karena perbedaan pilihan," ungkapnya.
Fary mengatakan, pemandangan m seperti itu tidak boleh dilanjutkan. Kontestasi politik harus dilalui dengan penuh kedamaian dan saling bergandengan tangan.
Kedua, lanjut Fahri, adalah soal politik SARA. Indonesia adalah negara yang ditakdirkan memiliki beragam suku dan agama. Tidak ada negara yang memiliki keanekaragaman budaya seperti Indonesia. Sejarah mencatat, perbedaan justru menjadi kekuatan. Ironisnya, perbedaan yang selama ini terjalin baik seketika menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan.
"Tak jarang agama dijadikan komoditas politik. Padahal, agama adalah urusan privat antara manusia dengan Sang Maha Pencipta. Dan itu semua sudah diatur dalam konstitusi negara kita," paparnya.
Kompetisi politik bukan untuk memenangkan suatu agama atau salah satu suku. Pemilu hanyalah ritual lima tahunan alias sementara, tetapi persatuan harus terjaga selamanya. Pemenang pemilu nanti tetap rakyat Indonesia. "Pemenang pemilu nanti tetap Pancasila," tegas Fary.
Ketiga, Fary menyoroti soal fenomena berita hoaks. Tak bisa dipungkiri, zaman sedang menuntut berhadapan dengan kecanggihan teknologi. Risikonya, arus informasi sangat mudah dikonsumsi, baik itu berita benar, maupun bohong .
Namun sayangnya, banyak masyarakat yang masih termakan berita hoaks. Tak sedikit kegaduhan terjadi karena diawali dengan kabar yang belum akurat dan tidak sahih. "Pemandangan seperti itu sudah seringkali terjadi," jelasnya.
Dia mengingatkan majunya zaman harus diimbangi dengan kemajuan pikiran. Berita harus dikonfirmasi dengan fakta dan data. "Dan masyarakat pengguna media sosial (netizen), harus tetap berprinsip "thingking before posting"," paparnya.
Fary mengimbau, cukuplah di 2018 konflik antargolongan, politisasi SARA dan fenomena hoaks terjadi. Jangan ada lagi fenomena yang sama di 2019 nanti. "Kita akan menjadi Bangsa yang merugi bila di tahun yang akan datang tidak lebih baik dari tahun sebelumnya," katanya.
Lebih jauh Fary berharap di 2019 nanti, Indonesia akan menjadi negara yang kuat, berdaulat, adil dan makmur. Indonesia menjadi rumah bagi semua agama dan golongan. "Indonesia akan memiliki haluan baru, tentunya dengan pemimpin baru," pungkasnya.
SUMBER