logo
×

Selasa, 06 November 2018

Yusril dan Turbulensi Politik Pilpres 2019

Yusril dan Turbulensi Politik Pilpres 2019

NUSANEWS - Beberapa bulan menjelang Pemilu Presiden dan Wakil (Pilpres) yang pelaksanaannya digabungkan dengan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD atau Pemilu Legislatif (Pileg) 2019, akselerasi perpolitikan nasional berkembang sangat cepat, dinamis dan acapkali penuh kejutan, baik ditilik dari manuver elit politik maupun isu-isu yang muncul ke permukaan. Salah satunya adalah munculnya pernyataan kesediaan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PPB) Yusril Ihza Mehendra (YIM) alias Yusril untuk menjadi pengacara Pasangan Calon Presiden (Paslon) Calon Presiden (Capres) No. 1 Joko Widodo (Jokowi) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) KH. Ma’ruf Amien (MA). Sontak saja manuver politik Yusril makin membuat konfigurasi dan pendulum politik nasional di Pilpres maupun Pileg 2019 mengalami turbulensi atau goncangan.

Konstestasi Pemilu Serentak 2019 menjadi kian menarik dan patut dicermati karena apapun argumentasinya, Yusril dianggap tokoh yang sejak Orde Baru hingga era reformasi masih diperhitungkan eksistensi dan reputasinya, baik karena kepakarannya di bidang hukum tata negara, profesionalitasnya sebagai pengacara (lawyer) maupun aksi politiknya melalui gerbong PBB. Di era Orde Baru, Yusril, Bambang Kesowo, dan Sunarto Sudarno adalah bawahan dariMenteri Sekretaris Negara Saadilah Mursyid yang tercatat mempunyai peran penting di masa pemerintahan Soeharto hingga kejatuhannya. Sedangkan di era pemerintahan Jokowi, YIM acapkali tampil menjadi salah satu pengeritik paling pedas dan kencang.

Berbeda dengan sejumlah kalangan elit politik muslim mainstream, YIM dengan argument hukumnya menolak keras pembubaran Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan alasan penguasa telah memberlakukan “logika politik aneh” dan sewenang-wenang. Dengan sikapnya tersebut, YIM dianggap lebih dekat kubu oposisi dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sebagai panglimanya. Ditambah lagi jelang pendaftaran Pilpres 2019, YIM selaku Ketua Umum PBB menyatakan dukungannya kepada Koalisi Keumatan yang digagas oleh Rizieq Shihab. Koalisi itu diikuti partai politik lain seperti Partai Gerindra, PAN, dan PKS. Maka ketika YIM memutuskan membantu kubu Jokowi-MA, dipastikan banyak pihak terperanjat dan menimbulkan pro kontra.

Pro kontra

Sebagian kalangan yang pro berpendapat, kesediaan Yusril menjadi pengacara Jokowi-MA, khususnya manakala terjadi sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi (MK) paska rekapitulasi penghitungan suara oleh KPU, secara hukum akan sangat menguntungkan Paslon No. 1. Dengan reputasinya sebagai pengacara profesional, pihak yang pro beranggapan bahwa YIM akan mampu mempertahankan perolehan suara yang diasumsikan akan dimenangkan Paslon Capres dan Cawapres No. 1 sehingga MK tetap akan mengukuhkan kemenangan Paslon incumbent ini. Sebaliknya manakala perolehan suara Paslon No. 1 kalah di Pilpres 2019 dari Paslon No. 2, Yusril akan mampu membalikkan keadaan sehingga ujungnya MK akan memutuskan kemenangan berada di pihak Paslon No. 1.

Tidak sekadar argumen profesionalitas, pihak pendukung masuknya YIM ke kubu Projo (Pro Jokowi) memprediksi akan menguntungkan secara politik karena akan mampu menaikkan popularitas, dan terutama elektabilitas Paslon No. 1. Dengan cara menarik perhatian, simpati dan dukungan dari kelompok muslim modernis karena sedikit banyak YIM dengan PBB-nya dianggap mewakili aspirasi politik kaum muslim modernis. Hal ini sekaligus diprediksi akan menambah pundi-pundi suara yang sebelumnya dikontribusi dari aspirasi politik kaum muslim tradisionalis. Keyakinan terakhir berdasarkan kalkulasi Cawapres MA adalah Ketua Syuriah PB NU dan Ketua Umum MUI sehingga kaum nahdiyyin diyakini akan memilih Paslon No. 2 di Pipres 2019.

Sementara kalangan yang kontra berpendapat, kesediaan Yusril menjadi pengacara Jokowi-MA, dianggap belum tentu atau secara otomatis mampu mengkapitalisasi dukungan bagi kubu Jokowi-MA. Alasannya, karena popularitas dan reputasi YIM sebagai politisi dan deklarator PBB tidak terlalu moncer. Dalam catatan, selama empat kali mengikuti Pemilu (1999, 2004, 2009 dan 2014), PBB hanya mampu meraih suara pada Pemilu 1999 dan 2004. Sementara pada Pemilu 2009, hanya memperoleh suara sekitar 1,8 juta atau serata dengan 1,7% sehingga tidak lolos parliamentary threshold 2,5% dan berakibat PBB tidak memiliki wakil seorang pun di DPR RI.

Yusril juga pernah mencalonkan diri menjadi Capres, namun tidak ada partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di parlemen signifikan mengakomodasi keinginan politik Yusril. Sebaliknya, seperti dikatakan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono, YIM dibutuhkan kubu Jokowi hanya untuk menepis citra negatif anti Islam. Sebab Yusril selama ini mendukung Rizieq Shihab hingga HTI, dan hanya sekadar dijadikan simbol, seperti terjadi pada diri MA, yang menjadi Cawapres Jokowi. Dengan kata lain, kepakarannya di bidang hukum tata negara dan reputasinya sebagai lawyer professional tidak selalu simetris dengan reputasinya di bidang politik praktis.

Pernyataan Yusril yang mengatakan sebagai pengacara Jokowi-MA tidak dibayar, menambah dugaan kelompok ini bahwa YIM tidak sepenuh hati memberikan dukungan politik terhadap Jokowi-MA. Keterlibatan YIM di kubu Jokowi-MA lebih pada afiliasi secara profesional, dan bukan afiliasi politik. Bahkan manakala YIM mempertahankan sikap politik seperti ini dan diikuti dengan sikap politik beragam dari kalangan elit dan konstituen PBB, bisa menjadi counter productive bagi Paslon No. 1, atau malah menjadi duri dalam daging. Di sisi lain, masuknya Yusril ke kubu Paslon No. 1, tentu distribusi peran dalam kampanye dan kekuasaan menjelang dan paska Pilpres 2019—jika Paslon No. 1 menang—akan berpotensi menimbulkan konflik internal di kalngan inner cycle kekuasaan.

Dalam suatu kesempatan, YIM memang pernah mengatakan tidak akan mendukung Prabowo Subianto sebagai Capres, sebab menurutnya dukungan untuk Prabowo hanya akan menguntungkan Gerindra. Pandangan YIM tersebut mungkin dipengaruhi oleh teori efek ekor jas (coat-tail effect) atau EEJ yang dimaknai Jayadi Hanan dari Saiful Mujani, Research and Consultant (SMRC) sebagai adanya hubungan positif antara kekuatan elektoral seorang calon presiden dan partai yang mengusungnya. Artinya, seorang calon presiden atau presiden yang populer dengan tingkat elektabilitas yang tinggi akan memberikan keuntungan positif secara elektoral kepada partai yang mengusungnya sebagai calon. Namun apakah dengan mendukung Paslon No. 1, berarti PBB akan mendapat keuntungan politik di Pemilu 2019? Belum tentu juga.

Hepotesa ini seolah terkonfirmasi dari survei terbaru dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang dirilis pada Jumat (2/11/2018). Hasilnya, LSI untuk kedua kalinya memprediksi 6 partai tidak lolos ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Enam partai itu adalah Partai Hanura, Partai Garuda, Partai Berkarya, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Garuda. Perkiraan LSI ini berdasarkan survei elektabilitas 16 partai politik di 10 provinsi terbesar di Indonesia. Sepuluh provinsi tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Banten, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, Lampung, dan Sulawesi Selatan.

Cenderung realistis

Kembali merefer teori EEJ, yang paling mendapat benefit, incentive atau profit politik paling tinggi dengan Pemilu Serentak 2019 jelas akan diperoleh PDI Perjuangan dan Gerindra. YIM pasti telah mengalkulasi hal ini. Melalui bacaan politiknya itu pula, barangkali akhirnya YIM bersikap realistis. Di dunia pesantren ada adagium yang berbunyi: “ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu”, yang artinya kurang lebih lebih: “jika kita tidak memperoleh hasil maksimal jangan tinggalkan semua (ambillah walau minimal)”. Dalam aktualisasi praksisnya, andaikata atau sekiranya PBB tidak lolos dari PT di Pileg 2019 dan Pilpres 2019 dimenangkan Paslon No. 1, maka Yusril dengan PBB akan diuntungkan secara politik. Setidaknya bakal mendapat ‘jatah’ satu atau dua kursi menteri atau jabatan politik di pemerintahan, BUMN dan lain sebagainya. Sebagai imbalan politik atas kesediaan Yusril menjadi lawyer Paslon No. 1. Karena ibaratnya “tidak ada makan siang gratis”, apalagi dalam konstelasi politik tingkat tinggi.

Terlebih lagi sejarah mencatat, Yusril mempunyai hubungan cukup baik dengan Presiden ke-5 RI yang sekaligus juga Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri karena pernah menjadi Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM). Bahkan Mega pernah meminta Yusril untuk menulis sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan yang dibuat semasa pemerintahannya. Sebaliknya dengan kubu Paslon No. 2, YIM dengan PBB-nya belum pernah tercatat mempunyai kerja yang baik. Bahkan sebaliknya, Yusril seperti tidak perhitungkan. Dalam catatan pengamat politik Salahuddin Said, ketika PBB mengalami permasalahan dalam proses verifikasi parpol calon Peserta Pemilu, kelompok pendukung Prabowo 'cuek-cuek' saja. Begitu pula pada saat dilakukan pembahasan mengenai calon pendamping Prabowo, Yusril dan partainya juga seolah dianggap tidak penting. Padahal Yusril dan PBB sebetulnya punya kecenderungan untuk mendukung pasangan Prabowo-Sandi.

Hal lain yang patut dicermati adalah kemungkinan terjadinya friksi atau bahkan konflik internal dalam tubuh elit dan pengurus PBB, termasuk pendukung dan simpatisannya paska deklarasi dukungannya kepada Paslon No. 1. Yang paling dikuatirkan justeru akan membuat perolehan suara PBB di Pileg 2019 akan makin jeblok. Sebab, seperti diketahui platform PBB adalah berhaluan Islam modernis dan mengklaim dirinya sebagai pewaris sah Partai Islam Masyumi di masa lampau. PBB berasaskan Islam berdiri pada tanggal 17 Juli 1998 di Jakarta dan dideklarasikan pada hari Jumat tanggal 26 Juli 1998 di halaman Masjid Al-Azhar Kemayoran Baru Jakarta.

PBB didirikan oleh Ormas Islam yang tergabung dalam Badan Koordinasi Umat Islam (BKUI) yang didirikan pada 12 Mei 1998. BKUI merupakan pelanjut dari Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) yang didirikan pada tanggal 1 Agustus 1989 oleh Pemimpin Partai Masyumi yaitu DR.H. Mohammad Natsir, Prof. Dr. HM. Rasyidi, KH. Maskur, KH. Rusli Abdul Wahid, KH. Noer Ali, DR. Anwar Harjono, H. Yunan Nasution, KH. Hasan Basri dan lain-lain. Orientasi politik Partai Masyumi atau PBB tak jarang bersinggungan atau bertolak belakang dengan platform dan oreintasi politik PDI Perjuangan yang berhaluan nasionalis sekuler. Mengantisipasi kemungkinan dampak negatif seperti ini, perlu dipikirkan Yusril dinontifkan dari PBB, atau dialihkan fungsinya hanya menjadi Ketua sebagai Ketua Majelis Syura atau Ketua Dewan Kohormatan Partai, sedangkan Ketua Umum PBB diserahkan kepada figur lain.

Memudahnya dikotomi

Terlepas dari itu semua, masuknya YIM ke kubu Jokowi-MA secara umum makin menguatnya pandangan yang mengatakan memudarnya dikotomi muslim tradisionalis dan muslim tradisionalis baik dari sisi pemikiran maupun orientasi dan prilaku politiknya. Dari sisi pemikiran, jika parameternya dari sisi mazhab fiqih atau teologi, sebenarnya banyak kaum muslim kini sudah tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut. Bagi generasi muslim kontemporer, khususnya kaum milineal, yang substansial adalah komitmen kepada keumatan dan kebangsaan. Lagi pula, dua Capres dan Cawapres yang pada Pemilu 2019 akan berkontestasi secara de jure maupun de fakto orang-orang Islam. Jadi siapapun yang bakal terpilih menjadi Capres dan Cawapres definitif terlalu banyak masalah.

Jika kita menggunakan kerangka analisis sosiologis dari seorang peneliti dan antropolog asal Amerika Serikat Clifford Geertz yang membagi masyarakat Jawa ke dalam varian abangan, santri, priyayi. Maka keempat calon pimpinan nasional tersebut mewakili tiga varian tersebut yakni: MA mewakili golongan santri, Prabowo dan Sandi dapat dianggap mewakili kaum priyayi dari sudut strata sosial. Sedangkan Jokowi, Prabowo Subianto dan Salahuddn Sandiaga Uno (Paslon Capres dan Cawapres No. 2) dianggap mewakili golongan abangan. Jika ukurannya dari sudut keislaman, maka yang ‘paling Islam’ justeru bisa dikatakan hanya MA karena beliau nota bene dikenal seorang ulama dan santri.

Selain menunjukkan makin memudarnya dikotomi muslim tradisionalis dan muslim modernis, secara umum dukungan Yusril ke kubu Paslon No. 1 tidak bisa dianggap sebagai indikasi terjadinya kemunduran politik muslim modernis, khususnya di kalangan elit politiknya. Jika muncul pandangan atau asumsi demikian, lebih dipengaruhi oleh logika kekuasaan. Seolah-olah manakala suatu kelompok telah berhasil menaikkan kader terbaiknya sebagai Cawaprews mendampingi Capres incumbent, secara otomatis dianggap kontestasi sudah selesai; atau pasti dimenangkan. Padahal berkaca dari pengalaman Pilkada Serentak selama ini, tidak selalu secara otomatis incumnbent atau petahana memenangkan kontestasi. Contoh paling telanjang nyata adalah pada Pilkada DKI 2017 dimana incumbent yakni: Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok harus ‘tumbang’ di tangan sang penantang, Anies Baswedan. Yang sering dianggap mewakili aspirasi politik muslim modernis.


SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: