OLEH: NATALIUS PIGAI
TULISAN ini adalah lanjutan dari 2 tulisan tentang kekuasaan dalam perspektif Jawa dalam tahun ini. 2 judul sebelumnya “Kumbakarna Mati, Rahwana Akan Tumbang dan Pemimpin Yang Ambisius Selalu Kobarkan Perang, "Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji.”
Ketiga tulisan ini saya mengulas pemikiran Jawa tentang kekuasaan. Tentang perebutan tahta kerajaan, tentang jatuh bangunnya kerajaan dan juga tentang pengkhianatan, pecundang dan petarung, tentang perang dan damai.
Semua tulisan berorientasi untuk melihat secara jernih perebutan pengaruh dan kekuasaan yang dipertontonkan oleh Presiden Joko Widodo. Meskipun demikian tulisan saya juga sering bersifat nasihat untuk mengingatkan Jokowi sebagai seorang rakyat biasa dalam tipologi kelas di Jawa.
Dalam seminggu terakhir ini Rakyat Indonesia heboh melihat akrobat politik sejumlah pihak dengan memunculkan poster Jokowi sebagai Raja Jawa. Poster Jokowi Raja Jawa alias Joko Widodo dipasang di berbagai kawasan di Jawa Tengah.
Semula Pihak PDIP menduga dan menuduh poster Jokowi Raja Jawa itu bagian kampanye hitam untuk menjatuhkan Joko Widodo yang dilakukan kubu lawan. salah, Poster Jokowi Raja Jawa dipasang secara massif di sejumlah daerah bahkan di angkutan perkotaan (angkot).
Reaksi keras PDIP itu akhirnya diketahui bahwa penyebar poster itu bukan pihak Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno. Ternyata pihak Jokowi sendiri yang memasang poster Jokowi Raja Jawa.
Apa yang dipertontonkan oleh pihak Jokowi dalam konteks cara pandang dan pemikiran kekuasaan Jawa tentu sangat kontras. Bahkan bertentangan dengan cara pandang Jawa tentang kekuasaan. Meski pun dalam pelaksanaan jatuh bangunnya kerajaan di Jawa penuh intrik dan konflik.
Tipologi masyarakat Jawa tergambar jelas dan dipotret oleh sosiolog kenamaan Cliford Geerz dalam 3 kelompok komunitas yaitu:
Pertama, Priyayi, kaum Priyayi adalah para keluarga ningrat. Kaum ningrat berbasis pada kelompok penguasa kerajaan baik besar sepeti Kerajaan Mataram juga kerajaan-kerajaan kecil. Mereka disebut darah biru pengelola kuasa secara turun temurun. Sejak Senopati 1 sampai Amangkurat dan Hari ini Sri Sultan Hamengkubuwono X dan sanak saudara dalam ikatan pertalian darah.
Kedua, Santri yang berbasis di tempat pesantren di bawah asuhan kyai atau guru agama, khususnya dalam konteks agama islam atau cara pandang Jawa Islam. Komunitas santri terkolonisasi dalam salah satu penghayatan spiritualitas agama Islam baik di langgar, mesjid maupun juga di sekolah-sekolah agama milik NU dan Muhamadiyah.
Ketiga, kelompok Abangan, mereka tidak termasuk priyayi, tetapi juga bukan santri. Kelompok abangan ini lebih melekat pada masyarakat petani, buruh dan budayawan. Penghayatan tentang nilai hidup berbasis pada kepercayaan spiritualitas Jawa (javanese views), seringkali masuk dalam perguruan pencak silat, atau perguruan spiritualisme kejawen.
Kekuasan dan kehidupan dinilai dalam cara pandang tahayul dan mistik meski pun aspek yang dilihat dalam tahayul tersebut tentang kebaikan, ijo royo-royo, tata tenteram Kerta raharjo, gema ripa loh jinawi.
Jokowi adalah salah satu kelompok komunitas kaum abangan dalam kelas sosial masyarakat Jawa. Dia bukan kelas priyayi juga bukan kelas santri. Jokowi tidak berada di dalam kelas masyarakat yang melingkari kekuasan. Dia kelas rakyat jelata yang jauh dari kekuasaan.
Pertanyaannya, apakah dengan pembagian kelas ini, kaum santri dan abangan tidak bisa menjadi pemimpin? Jawaban kalau hari ini tentu saja tidak! Karena Indonesia negara modern Republik, bukan monarki absolut juga monarki konstitusional. Namum bagi masyarakat Jawa bukan soal kepemimpinan tetapi ini soal wibawa, kharisma, pengayom, penuntun hanya melekat kepada keluarga priyayi.
Karena itu sekali pun Jokowi menjadi Presiden wibawa, kharisma, jiwa pengayom dan penuntun tidak akan tercitra di muka rakyat Jawa khususnya komunitas masyarakat penghuni wilayah mataraman.
Apalagi Jokowi meski pun Presiden dia berasal dari kelas rakyat biasa, bukan keluarga priyayi sekali pun Keluarga Mangkunegaran dan juga kesunanan. Apa yang diperlihatkan kelompok Jokowi dengan Mahkota Raja Jawa sangat mungkin menyinggung keluarga priyayi Mataram termasuk Keluarga Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Apalagi Jokowi orang Solo. Mataram memandang Surakarta (Solo) dalam konteks perebutan kekuasaan atau pemecahan wilayah kuasa sejak adanya perjanjian Giyanti 1755. Itulah penyebab utama (causa prima) di mana Raja Jawa paling mungkin tersinggung.
Kerajaan Mataram di Yogya masih menganggap orang Solo masih pengkhianat, penghancur kuasa dan bahkan tidak patriotik dan nasionalis. Dasarnya apa? Perjanjian Giyanti adalah hasil rekayasa Belanda (VOC) karena Mataram tidak bisa tunduk kepada Belanda.
Akhirnya Belanda mendorong adanya perjanjian di Giyanti, di Karanganyar agar Mataram terbagi menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogjakarto Hadiningrat dan Kesunanan Surakarta.
Bahkan ada klausul dalam perjanjian Giyanti yang menyatakan Belanda dapat menunjuk Raja. Gambaran pengkhianatan terlihat saat penunjukan Raja Surakarta yang seharusnya Arya Mangkunegaran menjadi Raja sebagai penerus Amangkurat IV, namun karena sering menentang Penjajah Belanda akhirnya diasingkan ke Srilangka. Belanda mendorong Prabuyasa yang bermental inlander, patuh pada penguasa Belanda melanjutkan tata kerjaan di Surakarta.
Itulah sebabnya Jokowi oleh Raja Jawa di Mataram bisa diduga masih dianggap pengkhianat dan berambisi menjadi Raja Jawa hanya Karena menjadi Presiden RI. Sebenarnya Jokowi meskipun dia orang Jawa dia tidak memahami filosofi Jawa tentang kekuasaan; Menang tanpa Bolo, Ngluruk Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji. Atau bisa saja karena paham bahwa mahkota Raja bisa berpindah tangan sebagaimana lazimnya.
Jokowi seharusnya baca sejarah dan filosofi Jawa, jangan hanya baca komik-komik Pinokio dan lain yang ecek-ecek.
Jokowi mestinya mengerti bahwa Raja Jawa itu adalah keluarga kerjaan mataram baik dari Mataram Kuno atau Mataram (Hindu) merupakan sebutan untuk dua dinasti, yakni Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra, yang berkuasa di Jawa Tengah, Dinasti Sanjaya yang bercorak Hindu didirikan oleh Sanjaya pada tahun 732.
Beberapa saat kemudian, Dinasti Syailendra yang bercorak Buddha Mahayana didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Kedua dinasti ini berkuasa berdampingan secara damai.
Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa raja Balitung. Kemudian muncul Dinasti isyana adalah sebuah dinasti penerus dari dinasti Sanjaya. Pendirinya adalah Mpu Sendok yang bergelar Sri Maharaja Rakai Hino sri Isyana Wikramadharmattunggadewa. Ia menjadi raja medang dari tahun 929-947 M.
Joko Widodo mesti memahami bahwa Pada zaman dahulu, hutan Mentaok merupakan wilayah bekas Kerajaan Mataram Kuno yang menguasai wilayah Jawa Tengah bagian selatan pada abad 8 hingga abad 10.
Setelah beberapa abad kemudian Alas Mentaok menjadi wilayah Kesultanan Pajang. Pada tahun 1556, saat Kesultanan Pajang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, wilayah Alas Mentaok, yang juga disebut Bumi Mataram pada kala itu, diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas keberhasilannya, bersama putranya yaitu Danang Sutawijaya dalam menumpas pemberontakan Arya Penangsang.
Setelah serah terima wilayah Alas Mentaok dilakukan oleh Sultan Hadiwijaya kepada Ki Ageng Pemanahan, kemudian Alas Mentaok yang saat itu berupa hutan lebat dibuka menjadi sebuah desa oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani. Desa di Alas Mentaok tersebut selanjutnya dinamai Mataram dan berstatus sebagai tanah perdikan atau swatantra atau daerah bebas pajak. Raja Jawa berasal dari sini Alas Mentaok!.
Sejarah mencatat bahwa di kawasan Alas Mentaok ini, tepatnya di daerah Kotagede saat ini, pernah menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Mataram. Kini, bekas wilayah Alas Mentaok terdapat Keraton Kasultanan Ngayogjakarta Hadiningrat di wilayah Kota Yogyakarta. Inilah sesunguhnya RAJA JAWA!
Beberapa waktu lalu, Jokowi kobarkan Perang, keluarkan pernyataan kontroversial Sontoloyo dan Genderuwo. Dalam ilmu polemologi mengajarkan kita Perang untuk damai dan Damai juga bisa capai melalui perang. Ahli polemologi Finlandia Jhon Galtung memberi batasan yang jelas bahwa jika terjadi perang maka ada Karena kesenjangan antara realitas dan idealisasi.
Lantas, bagaimana jika perang tersebut dikobarkan oleh Jokowi orang yang berkuasa, penguasa tertinggi negara atas politik, hukum dan semua instrumen negara? apalagi mengobarkan semangat perang dan agitasi perang untuk saling terkam antar rakyat di negeri yang dipimpinnya?
Mengapa Jokowi yang adalah Pemimpin di negeri ini mengobarkan perang, tidak ada landas konstitusi, tidak ada landas ilmu pengetahuan modern tentang perang dan damai.
Saya menduga kuat bawah tentu saja Jokowi terinspirasi dari jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan di Jawa yang memang penuh dengan intrik dan rebutan kekuaaan. Berdirinya kerajaan Mataram oleh Mas Karebet alias Joko Tingkir atawa Panembahan Senopati adalah pemberian tanah Alas Mentaok setelah ayahnya Pemanahan membantu Hadiwijowo di Demak melawan kerajaan Majapahit.
Panembahan Senopati menjadi raja pertama setelah menumpas Arya Penangsang. Dalam mitologi Jawa, jauh sebelum kerajaan Mataram, penaklukan negara Alengka oleh Rama Wijaya menumpas Rahwana dan adiknya kumbakarna. Hanoman didapuk oleh raja sebagai seorang patih karena membantu Rama.
Meskipun Hanoman adalah seorang pengkhianat negeri Alengka dan Sang Rahwana. Demikian pula pecahnya Mataram melalui Perjanjian Giyanti dan juga jauh sebelumnya, pada masa Mataram Kuno empu sendok memindahkan kerajaan Mataram sampai di Jawa Timur dan lagi sebagainya.
Kisah terakhir kita saksikan konflik perebutan takhta di Mangkunegaran dan instrik dibalik pewaris kerajaan Mataram Yogya sampai Sultan Hamengkubuwono keluarkan Sabdo Raja.
Berbagai cerita intrik dan perang melahirkan Tahta telah meninspirasi para pemimpin untuk merebut tahta di Republik tercinta ini.
Jadi apa yang dipertontonkan oleh Jokowi dan Pendukungnya di negeri ini juga tidak begitu saja lahir dan jatuh dari langit, tetapi ada akar historisnya dan ironisnya taktik perebutan Kekuasan yang sedang dipakai saat ini juga patut diduga bersumber inspirasi perebutan tahta di kerajaan-kerajaan di Jawa.
Pemimpin mengambil keputusan perang adalah pemimpin yang memang haus akan kekuasaan. Pemimpin yang berkeinginan untuk perang itu biasanya memang punya tujuan untuk merebut kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan.
Selain haus akan kekuasaan, pemimpin yang secara terang-terangan mendeklarasikan perang di hadapan rakyatnya jelas membuktikan bahwa dirinya adalah pribadi yang ambisius.
Perang dalam philosofie Jawa sendiri tidak hanya berwujud perang fisik melainkan perang non fisik. Non fisik itu suatu tindakan atau kekerasan verbal dan itu yang paling bertentangan dengan hukum karena tanpa agitasi, tanpa propaganda atau tanpa hatespeech yang isinya menyerang individu dan rakyatnya sendiri. Tetapi bermain dengan simbol.
Orang Jawa bermain dalam Simbolisme. Mahkota Raja Jawa di kepala Joko Widodo adalah sebuah Signal kuat sebagai pribadi yang ambisius. Oleh karena itu Raja Jawa, Sri Sultan Hamengkubuwono x dan kaum ninggrat harus perang melawan nalar dan logika yang salah.
Perang melawan logika yang salah untuk melahirkan pemimpin rasional yang berwibawa, pemimpin punya yang punya nilai, karakter tanpa menyentuh akar budaya dan eksistensi kerajaan Jawa.
Jokowi, Rebutlah tampuk mahkota secara gentelmen sebagaimana ajaran nenek moyang “Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji”. Bermain tanpa bola, menang tanpa mengalahkan lawan. Berwibawa tanpa menggunakan kekuasaan. [***]
Penulis Adalah Kritikus dan Aktivis Kemanusiaan tinggal Yogya, Solo dan Jakarta
SUMBER