NUSANEWS - Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) wajib dikelola pemerintah desa secara partisipatif, transparan, dan akuntabel. Dana desa yang dimandatkan UU no. 6 tahun 2014 tentang Desa, rawan dikorupsi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Liska Fauziah menuturkan, pencairan dana yang disebar ke 74.954 desa di seluruh Indonesia, sudah dimulai sejak 2015. Setiap tahun dana desa meningkat sangat signifikan.
Pada 2015, besaran dana desa yang berasal dari APBN mencapai Rp 20 triliun. Tahun 2016 jumlah dana desa naik menjadi Rp 46 triliun. Terakhir, pada 2017 dan 2018 sebanyak Rp 60 triliun. Bahkan pemerintah berencana menaikkan anggaran dana desa hingga mencapai Rp 73 triliun pada 2019. "Sayangnya pengelolaan dana desa tersebut masih diwarnai praktek korupsi," katanya.
Dalam pantauan ICW, sejak dana desa dikucurkan pada 2015 hingga 2017, terdapat 110 kasus korupsi anggaran desa. Melibatkan 139 pelaku yang telah diproses oleh penegak hukum.
Jumlah kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp 30 miliar. Dari segi aktor korupsi, dari 139 pelaku sebanyak 107 orang adalah kepala desa, 30 orang aparatur desa dan 2 orang berstatus istri kepala desa.
"Padahal UU Desa menegaskan, kepala desa wajib melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas kolusi, korupsi, dan nepotisme," terang Liska.
Data dari Kementerian Desa dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun semakin menunjukkan maraknya penyalahgunaan dana desa. Kementerian Desa sendiri telah menerima 200 laporan pelanggaran administrasi dari 600 laporan tentang dugaan penyelewengan dana desa. Sedangkan data KPK menyebutkan, sejak Januari-Juni 2017, KPK sudah menerima 459 laporan mengenai dugaan korupsi dana desa.
"Persoalan korupsi dana desa sebaiknya tidak dibiarkan begitu saja. Jika tidak dibenahi, akan muncul kecenderungan peningkatan jumlah aktor dan kerugian dari korupsi dana desa dari tahun ke tahun," ujarnya.
Selain mendorong proses penegakan hukum terus berjalan, salah satu langkah penting yang dapat dilakukan untuk mencegah meluasnya praktek korupsi dana desa adalah memberikan pendidikan atau sosialisasi antikorupsi bagi aparatur pemerintah desa.
ICW sendiri bakal menggelar Sekolah Anti Korupsi (SAKTI) yang dikhususkan untuk aparat pemerintah desa yang terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Pada 2018, kegiatan SAKTI Aparatur Pemerintah Desa akan dilaksanakan di Larantuka Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur pada 6-9 November 2018.
Kegiatan ini akan diikuti 30 orang kepala desa dan sekretaris desa yang berada di wilayah Kabupaten Flores Timur. "SAKTI Aparatur Pemerintah Desa 2018 ini bertujuan mencetak aparatur pemerintah desa yang anti korupsi khususnya untuk mengawal dan mencegah korupsi dana desa," tandas Liska.
Berdasarkan data Bappenas pada Maret 2018, Provinsi NTT menempati peringkat ketiga yang memiliki persentase tinggi untuk jumlah penduduk miskin atau desa tertinggal di wilayah pedesaan. Hal ini diungkap aktivis Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel), Maria Loretha menyebutkan,
"Disebut desa tertinggal karena kurang berkembang dalam aspek ekonomi, sumber daya manusia, infrastuktur, dan aksesibilitas," katanya.
Wilayah Kabupaten Flores Timur Larantuka NTT dipilih sebagai tempat penyelenggaraan SAKTI Aparatur Desa, karena adanya keinginan kuat masyarakat sipil dan pihak gereja Katolik. Khususnya Keuskupan Larantuka, dalam mendorong pemberdayaan masyarakat perdesaan, termasuk mencegah korupsi dana desa.
"SAKTI Aparatur Pemerintah Desa dapat menjadi pintu masuk bagi terwujudnya desa yang sejahtera dan bebas dari korupsi," tambahnya. ***
SUMBER