NUSANEWS - Beberapa waktu belakangan, Presiden Joko Widodo yang juga calon presiden petahana membuat kejutan untuk publik dengan pernyataan frontal dalam pidatonya.
Saat membagikan sertifikat tanah bagi warga Jakarta Selatan, Selasa (22/10), Jokowi mengingatkan masyarakat akan bahaya politikus sontoloyo. Menurutnya politikus sontoloyo memengaruhi masyarakat dengan isu-isu tak jelas.
Mantan Wali Kota Solo itu tak menyebut siapa politikus sontoloyo yang ia maksud. Pidato itu pun direspons berbagai kalangan. Bahkan Fadli Zon, Wakil Ketua DPR dari Partai Gerindra, membalasnya dengan puisi berjudul 'Ada Genderuwo di Istana'.
Tak berhenti di situ, Jokowi kembali membuat retorika ofensif saat mengunjungi Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (9/11). Kali ini Jokowi memakai istilah politik genderuwo sebagai gaya politik yang hanya menakut-nakuti masyarakat.
Lagi-lagi pidato Jokowi memicu perdebatan. Fadli Zon dan musisi Ahmad Dhani pun membuat puisi dan lagu 'Sontoloyo' sebagai kritik balasan.
"Cara-cara seperti ini adalah cara-cara politik yang tidak beretika. Masa masyarakatnya sendiri dibuat ketakutan? Enggak benar kan? itu sering saya sampaikan itu namanya 'politik genderuwo', nakut-nakuti," kata Jokowi di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (9/11).
Pernyataan keras Jokowi dalam beberapa waktu belakang dinilai melenceng dari gaya politiknya selama ini. Jokowi dikenal dengan politik simbol ala Jawa. Biasanya ia menanggapi serangan politik bukan dengan verbal.
Misalnya pada 17 Juni 2016 saat kapal-kapal China masuk ke zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna dan melakukan pencurian ikan tanpa izin. Jokowi langsung menggelar rapat terbatas di atas geladak kapal perang Imam Bonjol lima hari setelah kejadian.
Atau saat Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyindir ambisi Jokowi membangun infrastruktur. Jokowi langsung menyindir balik dengan mendatangi Kompleks Olahraga Hambalang. Seperti diketahui, kasus korupsi pembangunan Hambalang menyeret beberapa elite Partai Demokrat dan terjadi ketika SBY berkuasa.
Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Siti Zuhro, mengatakan memang ada perubahan gaya politik dari Jokowi. Siti menyebut perubahan gaya politik Jokowi tidak terlepas dari serangan dari kubu penantang, Prabowo Subianto - Sandiaga Uno.
Kedua kubu dinilai belum memiliki komitmen tinggi pada kampanye damai.
"Sehingga yang terjadi perilaku frontal, berhadap-hadapan betul, tidak tedeng aling-aling lagi," ujar Siti saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (12/11).
Siti berujar sebenarnya keputusan Jokowi untuk tampil lebih frontal sangat riskan. Pasalnya selama periode pertama, publik simpati kepada Jokowi karena politik simbol yang mencerminkan budaya tinggi.
Dalam survei LIPI yang dirilis Juli lalu, masyarakat Indonesia cenderung lebih memilih pemimpin yang sederhana dan merakyat ketimbang berwibawa.
Pemimpin sederhana dan merakyat mendapat skor 95,38 persen, sedangkan pemimpin berwibawa 92,19 persen.
Survei ini dilakukan terhadap 2.100 responden dengan metode multistage random sampling di 34 provinsi pada 19 April-5 Mei 2018. Margin of error yang digunakan 2,14 persen.
"Preferensi masyarakat itu tidak bisa dijaga Pak Jokowi. Orang kan memilih menu sederhana dan merakyat. Kalau sekarang menunya beda lagi, ya orang enggak nafsu, ibaratnya seperti itu," ujar Siti.
Terpisah, pengamat politik Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti mengatakan sebenarnya kekuatan Jokowi terletak pada gaya lamanya, diam dan membiarkan simbol bermain.
Dengan meladeni perlawanan dengan istilah-istilah kontroversial, Ray menyebut Jokowi menambah kabur substansi kampanye.
"Akhirnya, publik kita hanya ribut soal ungkapan yang sebenarnya tidak perlu. Dan wajah kampanye kita hanya seperti bertarung mengungkapkan ungkapan yang saling menyindir, belum masuk ke soal-soal substantif," tutur Ray dalam keterangan yang diterima CNNIndonesia.com, Sabtu (12/11).
Dia menuturkan, seharusnya Jokowi dan juga Prabowo mulai melakukan perdebatan dalam hal substantif. Pasalnya mayoritas masyarakat Indonesia masih minim literasi politik.
"Pada masyarakat yang literasinya masih berkutat pada simbol, kulit dan permukaan, pesan dari simbol tersebut justru terlupakan," tutur dia.
SUMBER