NUSANEWS - Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta memberikan kritik terhadap kinerja Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan selama satu tahun menjabat yang genap pada hari ini, Selasa, 16 Oktober 2018.
Butir-butir kritik tersebut terbagi menjadi enam poin besar, yang dikemukakan Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta, Gembong Warsono.
Pertama. "Target OK OCE yang menjanjikan 40 ribu pengusaha baru dalam satu tahun tak terpenuhi," ujar Ketua Fraksi PDIP DPRD Jakarta Gembong Warsono di kantornya, Jakarta Pusat, Senin, 15 Oktober 2018.
Gembong menjelaskan saat ini jumlah masyarakat yang tergabung dalam program OK OCE ada 54.564 orang. Namun, sejak Januari - Oktober 2018 Izin Usaha Mikro dan Kecil yang terbit hanya 1.811. Artinya, Gembong mengatakan hanya 3,31 persen yang benar-benar menjadi wirausahawan.
Gembong juga menyoroti soal baru berdirinya dua Gerai Tani OK OCE di Jakarta dari target awalnya 20 gerai.
Menurut Gembong, kedua gerai itu tak mampu memberikan akses pangan dengan harga murah kepada masyarakat. "Terbukti program OK OCE gagal total dalam mencapai targetnya," ujar Gembong.
Kedua. Fraksi PDIP di DPRD mengkritik soal sedikitnya armada yang bergabung dalam program Jak Lingko (sebelumnya OK-OTrip). Menurut Gembong, Pemprov DKI Jakarta menargetkan ada 2.000 armada yang akan bergabung dalam program itu di akhir tahun 2018.
Namun, per September 2018 hanya ada 283 armada yang melayani 33 rute saja. Menurut Gembong, sedikitnya armada yang bergabung karena hambatan dalam pelaksanaan program terlalu banyak. Seperti misalnya minimnya minat operator atau koperasi untuk bergabung dan tak tersedianya proyeksi keuntungan yang tak jelas.
Gembong juga ragu konsep Jak Lingko, yang terintegrasi dengan berbagai moda transportasi, sulit terealisasi karena halte yang belum terkoneksi, jumlah armada kurang, dan operator yang belum berminat bergabung.
Selanjutnya, ketiga. Program rumah dengan down payment (DP) Rp 0 dengan nama SAMAWA (Solusi Rumah Warga) juga tak luput dari kritik PDIP. Menurut Gembong, minimum cicilan sebesar Rp 2 juta per bulan masih terlalu mahal untuk rakyat miskin.
"Itu belum termasuk iuran air, listrik, dan iuran pengelola lingkungan," ujar dia.
Selain itu, Gembong mempertanyakan dasar hukum soal pemakaian Rp 160 miliar APBD sebagai dana talangan program itu. Sebab, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2011 tentang pinjaman daerah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tak bisa memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain.
Menurut Gembong, jika Pemprov DKI Jakarta menggunakan dana ratusan miliar itu untuk talangan, akan sangat rawan terjadi kerugian negara.
Selain itu, Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang pedomab pengelolaan Keuangan Daerah, melarang Kepala Daerah menganggarkan program melampaui masa jabatannya, seperti rencana dana talangan yany bisa dicicil sampai 20 tahun.
Keempat. Lebih lanjut, Gembong mengkritik soal naturalisasi sungai yang terbentur pembebasan lahan. Menurut dia, sampai saat ini pembebasan lahan belum sampai 40 persen. Sehingga, ia merasa program itu terlihat tak jelas.
Gembong juga menilai program Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat tak selaras. Seperti misalnya naturalisasi yang membutuhkan lahan lebih lebar dan penambahan kedalaman sungai.
"Konsekuensinya pembebasan lahan (tapi belum terealisasi)," ujar Gembong.
Kelima, kembalinya becak menjadi hal yang dikritik PDIP dalam satu tahun kinerja Anies. Menurut Gembong, seharusnya Anies belajar dari Walikota Surabaya Tri Rismaharini dalam memanusiakan tukang becak.
Di Surabaya, Risma menawarkan pekerjaan lain kepada tukang becak, seperti menjadi tukang sapu sekolah hingga satpam yang dibayar Rp3,2 juta per bulan. Penghasilan itu lebih tinggi dari penghasilan pengayuh becak yang hanya mencapai Rp600 ribu per bulan.
"Atau alihkan ke sektor wisata dan dibayar oleh Pemprov DKI Jakarta," ujar dia.
Terakhir, keenam. Gembong mengkritik soal evaluasi kinerja pelayanan publik yang mengalami kemunduran. Gembong berpendapat aparatur tak lagi berwibawa seperti sebelumnya. Hal itu membuat kepercayaan masyarakat terhadap aparatur pemerintah menjadi turun.
Selain itu, kecepatan pemerintah dalam menangani masalah di masyarakat dalam setahun Gubernur Anies Baswedan juga dinilai Gembong menurun. Beberapa aparatur juga ia yakini tak ditempatkan di posisi yang tepat. "Bahkan belum lama ini ada pencopotan sepihak dan mempengaruhi penyerapan anggaran dan regulasi," ujar dia.
SUMBER