NUSANEWS - Penangkapan Anggota Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih menambah daftar pejabat negara yang terjerat kasus korupsi. Eni, legilsator asal Fraksi Golkar, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Jumat (13/7).
KPK menduga Eni menerima suap dari Bos Blackgold Natural Recourses Limited, Johanes B Kotjo sebesar Rp 4,8 miliar. Suap terkait proyek pembangkit listrik PT PLN di Riau.
Menanggapi hal ini, Pakar Hukum Pidana Abdul Fikchar Hadjar menyebut korupsi di kalangan pejabat publik, merupakan sesuatu yang masif. "Bahkan sudah seperti kebutuhan," kata dia kepada JawaPos.com, Minggu (15/7).
Korupsi, kata Abdul, seakan menjadi budaya yang wajar bagi pejabat negara. Bahkan, seorang anggota dewan pernah mengatakan kalau korupsi itu sebagai pelicin pembangunan.
"Ini mengerikan dan memprihatinkan. Korupsi disebut 'pelicin' pembangunan. Artinya tinggal menunggu nasib sial saja seorang pejabat terkena OTT," tegas Fikchar.
Oleh karena itu, akademisi Universitas Trisakti ini menilai masyarakat makin kecewa. Mengingat pajak yang dibayarkan bukan untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyat, melainkan digunakan oleh oknum untuk kepentingan pribadi.
"Lembaga-lembaga pengawasan salama ini mati suri karena hanya melengkapi sistem saja, kinerjanya sama sekali tidak berpengaruh terhadap berkurangnya budaya korupsi di kalangan pejabat publik," jelasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan merinci duit yang diterima Eni. Eni diduga beberapa kali menerima duit suap.
Pertama pada Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 sebesar Rp2 miliar, 8 Juni 2018 sebesar Rp300 juta dan terakhir pada 13 Juli 2018, sebesar Rp500 juta. "Diduga uang diberikan oleh JBK kepada EMS melalui staf dan keluarga," ujarnya.
Uang yang diterima Eni itu disinyalir merupakan bagian komitmen fee 2,5 persen, dari nilai proyek.
SUMBER