OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
BAGI para politisi dan masyarakat awam siapa yang akan tampil sebagai capres dan cawapres menjadi perhatian utama menjelang Pilpres 2019, karena nasib mereka paling tidak selama lima tahun ke depan akan ditentukan oleh siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Akan tetapi bagi ilmuwan sosial, yang lebih penting bagaimana memahami apa sebenarnya yang sedang terjadi di bawah permukaan yang mendorong munculnya ke pentas pasangan-pasangan capres-cawapres tersebut, mengingat nasib bangsa dan negara ke depan akan ditentukan oleh kemampuan untuk membaca berbagai perubahan sosial yang terjadi.
Dengan pemahaman yang benar, maka para pengambil keputusan sebagai nakhoda dapat diingatkan sedini mungkin agar dapat mengambil keputusan terbaik sekaligus menghindari berbagai kebijakan keliru yang bisa membebani rakyat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi di bawah permukaan tidak mudah diketahui oleh publik. Menurut John Dryzek, kombinasi lobi dalam arti rayuan seperti janji terkait jabatan publik, dukungan logistik, sampai intimidasi dan ancaman (black mail), serta perang opini untuk meyakinkan publik merupakan sesuatu yang lazim dalam memperebutkan kekuasaan politik (Deliberative Democracy and Beyond: Liberals, Critics, Contestation, 2000).
Publik hanya bisa memperhatikan pertarungan yang berada di atas panggung berupa pernyataan para politisi baik dalam pengertian untuk menjelaskan posisinya terkait isu tertentu, menyerang lawan, maupun terkait upaya meraih simpati dan dukungan publik. Kalaupun ada info yang bocor terkait negosiasi dan transaksi, tentu statusnya hanya kabar burung yang biasanya juga muncul banyak versi dan sering dibantah, karena para aktor utama berusaha menutup rapat ruang privat ini. Belakangan juga digunakan cyber troop untuk menyerang maupun mengecoh opini yang berkembang.
Sebenarnya ada cara sederhana untuk membaca kemana arah pengelompokkan dan siapa yang akan bertarung ke gelanggang melalui narasi yang dibangun masing-masing kekuatan politik. Tentu kita masih ingat adagium yang mengatakan: Siapa yang memenangkan pertarungan wacana, maka dialah yang akan memenangkan pertarungan dalam kontestasi kekuasaan.
Dari narasi yang nampak kepermukaan dan secara konsisten dimainkan oleh dua kelompok besar adalah bagaimana merebut suara pemilih Muslim. Narasi ini semakin kuat dan nyata pasca Pilkada di DKI. Jika petahana memainkan narasi 'Islam Moderat' maka kelompok penantangnya menggunakan narasi 'Islam Populis'.
Gerakan Islam Populis di Indonesia menemukan momentumnya menjelang Pilkada DKI melalui peristiwa 212 yang kemudian melahirkan berbagai gerakkan baru dengan berbagai nama. Tokoh utama sekaligus menjadi ikon gerakan ini adalah Habib Riziek Sihab. Bahkan kini beliau mendapatkan gelar baru sebagai 'Imam Besar'. FPI yang menjadi kendaraannya, semula hanya dikenal sebagai ormas Islam pinggiran kini berada di garis depan.
Sementara ormas-ormas Islam besar seperti Muhammadiyah, NU dan belakangan NW ditarik TGB bersama Ikatan Alumni Al Azhar berhimpun di kubu yang lain yang mengembangkan narasi 'Islam Moderat'. Tentu pengelompokkan ini tidak bersifat mutlak, mengingat tidak sedikit tokoh-tokoh di dua kubu ini juga saling menyebrang.
Ormas-ormas Islam yang lain kini sedang mengkalkulasi sekaligus melakukan berbagai bentuk silaturrahim untuk tidak menggunakan istilah lobi yang sarat dengan konotasi politik.
Ada tiga pilihan bagi mereka: Pertama, bergabung dengan kelompok populis. Kedua, bergabung dengan kelompok moderat. Ketiga, pasif dan mengambil jarak dengan keduanya. Sampai saat ini kemana kecendrungan generasi milenial Muslim belum ada penelitian yang bisa dirujuk. Mana nantinya yang lebih kuat akan sangat ditentukan oleh siapa pasangan capres-cawapres dari keduanya yang akan dikontestasikan.
Bila dibandingkan dengan Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa yang juga mengalami badai populisme, maka kemenangan Donald Trump dan kemenangan Sebastian Kurz di Austria dapat dikatakan sebagai kemenangan kelompok populis. Sementara di sejumlah negara Eropa tokoh-tokoh dan partai-partai yang menggunakan isu primordial (populis) semakin banyak pendukungnya.
Di negara-negara Muslim belum ada rujukannya, karena itu Indonesia akan menjadi model yang akan dirujuk oleh negara-negara Muslim demokratis ke depan. [***]
Penulis merupakan Direktur Eksekutif CDCC (Center for Dialogue and Cooperation among Civilization)
SUMBER