Tingginya keinginan masyarakat yang inginkan ganti presiden 2019 sayang sekali membentur tembok ego elit partai.
Jokowi elektabilitasnya terus turun. Terakhir diposisi 35%. Dan sangat mungkin terus turun.
Oposisi atau koalisi keumatan yang mengusung narasi 2019 ganti presiden ternyata masih belum sigap dalam menangkap momentum ini.
Prabowo kabarnya elektabilitasnya mentok di posisi 25%. Ini tentu saja sangat rendah. Dan tak menyakinkan untuk menang.
Namun kabar bagusnya setelah gerakan 2019 ganti presiden bergema maka siapapun lawan Jokowi sudah mendapatkan point 40%. Dari mana? Dari seluruh suara rakyat yang butuh pemimpin baru.
Buat menang masih butuh 11%. Tapi peliknya nama PS tak bisa naik lagi. Persoalan ada pada nama itu.
Karena itu PS butuh cawapres yang bisa datangkan 11%. Cawapres PS akan sangat menentukan terdongkraknya elektabilitas dirinya.
Dalam rekomendasi ijtima ulama dan pemimpin umat di Peninsula Jakarta direkomendasikan dua nama: Habib Salim Segaf dan UAS.
UAS sudah berikan isyarat tak mau. Meskipun ini hemat saya masih bisa berubah. Kondisi bisa memaksanya untuk menerima amanat itu.
UAS ini sangat populer. Komunikasinya renyah. Mudah dimengerti semua kalangan dari anak-anak sampai kakek-kakek.
Selain itu dia lebih bisa diterima kalangan tradisional dan bisa melakukan penetrasi dibasis Jokowi di Jabar, Jateng dan Jatim.
Tinggallah Habib Salim Segaf sekarang. Namun beliau secara politik kurang kuat. Popularitas dan elektabilitas rendah terutama dibasis Jokowi.
Jabar memberikan pelajaran kepada kita. Dan pelajaran ini belum lama kita tinggalkan. Pelajaran itu sangat berharga dan mestinya dijadikan pengingat.
Dalam kondisi sulit ini partai besutan YIM yaitu PBB sudah menyatakan akan netral dalam pilpres.
Masih akan ada ijtima ulama di Tasikmalaya. Kita berharap para elit membuat keputusan untuk menang. Bukan sekadar kedepankan ego kelompok dan golongan. Salah buat keputusan maka seluruh umat dan bangsa akan menanggung pahitnya yang kedua kali.
(Oleh: Ust. Hafidin Achmad Luthfie)
SUMBER