OLEH: GEDE SANDRA
MENTERI Keuangan Sri Mulyani dalam sosial media pribadinya mengklaim bahwa pengelolaan APBN pada tahun 2017 adalah yang terbaik (sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2036961093044549&id=1236496389757694).
Dia pun menyebut beberapa indikator penting di dalamnya, seperti pertumbuhan ekonomi, indeks pembangunan manusia, gini ratio, dan kemiskinan, yang menurutnya sudah yang terbaik dan lebih baik dalam periode setelah 2014. Boleh-boleh saja. Namun, bila digunakan bingkai “kemerdekaan ekonomi", ternyata segala klaim Menteri Keuangan tersebut menjadi kosong.
Pembukaan UUD 1945 jelas menyatakan bahwa setelah dimerdekakan pada tanggal 17 Agustus 1945, perjuangan pergerakan “mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Artinya, secara sederhana bila, perekonomian rakyat Indonesia belum adil dan makmur, maka kita belum 100% merdeka. Atau dengan kata lain, masih setengah merdeka.
Belum Makmur
Mental setengah merdeka ini terutama terlihat pada kebijakan perekonomian makro. Pemerintah Indonesia terlalu cepat berpuas dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5%. Pemimpin pemerintahan seyogyanya paham, bahwa tingginya pertumbuhan ekonomi berkorelasi kuat dengan pendapatan perkapita, ukuran kemakmuran negara maju.
Kemakmuran yang dimimpikan oleh Pembukaan UUD 1945, ternyata belum dicapai Indonesia. Karena pendapatan perkapita Indonesia baru tembus USD 4 ribu tahun 2018.
Nilai pendapatan perkapita Indonesia, sebesar USD 4 ribu, masih sangat jauh bila digunakan batas untuk bisa dikategorikan negara maju sebesar USD 10-11 ribu. Sebagai perbandingan, di Asia Tenggara hanya tiga negara yang pada tahun 2018 ini memiliki pendapatan perkapita di atas USD 11 ribu. Singapura (USD 61 ribu),Brunei (USD 33 ribu), dan Malaysia (USD 11 ribu). Di bawahnya ada Thailand (USD 7 ribu), Indonesia (USD 4 ribu), Filipina (USD 3 ribu), dan Vietnam (USD 2500).
Jadi bila ada pejabat yang menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi 5% sudah cukup bagi Indonesia, dan predikat negara maju akan tiba pada tahun 2045, maka mereka adalah orang yang pesimis dengan masa depan Bangsa.
Mereka tidak berani berpikir cara Indonesia agar mampu menggenjot pertumbuhan hingga double dijit, di atas 10%, selama belasan hingga puluhan tahun seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan di masa lalu. Sangat tidak masuk akal membandingkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan negara-negara maju yang sudah berpendapatan perkapita sangat tinggi.
Hati-hati, bila kita terus puas dengan pertumbuhan ekonomi stagnan 5%, mungkin 5 tahun lagi kita akan tertinggal oleh Filipina (minggu lalu Presiden Duterte memasang target Filipina akan tumbuh 8% di sisa jabatannya). Dalam hal pendapatan perkapita, mungkin kemerdekaan kita dapat diibaratkan baru 40% (pendapatan perkapita saat ini/pendapatan perkapita negara maju=USD 4000/USD 10.000 x 100%).
Cara yang dipandang lebih lengkap dalam mengukur kemakmuran, atau kebahagiaan, adalah dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau dikenal di Badan PBB, UNDP, sebagai Human Development Index (HDI). IPM digunakan karena selain faktor materiil kekayaan (pendapatan perkapita), juga ditambahkan faktor akses ke esensi pembangunan (pendidikan dan kesehatan).
Benar juga, apa gunanya kaya raya tapi, rakyatnya masih sulit akses sekolah dan rumah sakit. Besaran IPM Indonesia yang dikatakan pemerintah mengalami peningkatan sejak tahun 2014, sebenarnya tidak berarti apa-apa. Karena faktanya sejak 2014 peringkat IPM Indonesia tetap berada di nomor 113 dari seluruh negara Dunia.
Selain itu, meskipun terjadi peningkatan IPM Indonesia ke 0,707, nilai ini masih di bawah rata-rata IPM negara-negara Asia Timur dan Pasifik (0,72) dan juga di bawah rata-rata IPM Dunia (0,717).
Perlu diketahui, ternyata peringkat IPM Vietnam dan Filipina sangat dekat dengan Indonesia (113), kedua negara ini berturut-turut pada peringkat 115 dan 116 (http://hdr.undp.org/en/composite/HDI) di kluster negara-negara dengan IPM Menengah (Medium Human Development). IPM Thailand peringkat 88 (IPM: 0,74) dan Malaysia peringkat 59 (IPM: 0,79) di kluster negara-negara dengan IPM tinggi (High Human Development) .
Sementara Brunei Darussalam peringkat 30 (IPM: 0,87) dan Singapura masuk peringkat 6 (IPM: 0,92), di kluster negara-negara IPM sangat tinggi (Very High Human Development).
Belum Adil
Mental setengah merdeka juga terlihat dalam kebijakan distribusi pendapatan. Indeks Gini Ratio, alat ukur paling umum terhadap ketimpangan pendapatan, Indonesia yang sebesar 0,391 terus menerus dibanggakan. Dikatakan, capaian ini merupakan yang tertinggi sejak 2014.
Sangat betul. Tapi coba kita periksa lagi sejarah Indonesia, akan terlihat capaian di tahun 2017 tidak berarti apa-apa. Ternyata, belum lama, pada tahun 2000-2001 (era pemerintaha Gus Dur) Indeks Gini Ratio Indonesia pernah menuju ke angka sangat rendah di 0,31. Sangat mengejutkan, nilai indeks Gini sebesar 0,31 adalah yang terendah sepanjang Republik Indonesia berdiri.
Perlu diketahui, negara-negara welfare state, yang terkenal sangat jor-joran dalam program-program perlindungan sosialnya, memiliki Gini Ratio di bawah 0,3. Artinya indeks Indonesia pada tahun 2000-2001 hampir menempatkan Indonesia di kelas negara kesejahteraan.
Tidak ada salahnya kepada pemerintahan ini atau yang akan datang untuk mempelajari kiat-kiat kebijakan dari tim ekonomi era Gus Dur tersebut. Untuk capaian indeks Gini terendah sepanjang sejarah ini mungkin Gus Dur juga perlu diberikan gelar sebagai Bapak Keadilan Sosial, selain sebagai Bapak Pluralisme tentunya.
Selain itu kita juga belum adil dalam mengukur angka kemiskinan. Pemerintah sering menyebutkan bahwa angka kemiskinan Indonesia tahun 2017 adalah sebesar 10,6% dari penduduk atau sebesar 26 juta jiwa, dengan garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS sebesar Rp 387 ribu/bulan, atau Rp 12.900/hari dan bila dikonversi ke dollar menjadi kurang dari USD 1 /hari.
Padahal garis kemiskinan internasional (international poverty line) adalah sebesar hampir USD 2 /hari (http://povertydata.worldbank.org/poverty/country/IDN), dua kali lipat garis kemiskinan versi BPS. Dengan menaikkan garis kemiskinan ke USD 1,5/hari saja (masih di bawah standar Bank Dunia), pada tahun 2015, Kementerian Sosial memperkirakan terdapat 40% orang miskin di Indonesia atau sebesar 96 juta jiwa. Melonjak hampir empat kali lipat dari versi resmi pemerintah. (***)
SUMBER