NUSANEWS - Pemerintah berupaya melakukan antisipasi dalam dampak perang dagang yang terjadi antara Cina dan Amerika Serikat (AS). Perang dagang ini membuat Indonesia berpotensi menjadi pasar bidikan Cina.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Harris Munandar mengatakan, saat ini sedang dilakukan pembahasan di Kemenperin untuk tindakan antisipasi. Antisipasi akan dilakukan untuk semua produksi, bukan hanya pada produk baja. "Karena kemungkinan besar perang dagang akan meluas sehingga terjadi perubahan besar dalam tatanan perdagangan global," katanya kepada Republika.co.id, Ahad (8/7).
Untuk itu Kemenperin akan melakukan antisipasi yang komprehensif, tidak hanya pada satu hingga dua produk saja. Antisipasi ini juga bukan hanya terkait dengan banjirnya impor. "Tapi juga hambatan ekspor produk RI ke pasar dunia," ujar dia.
Perang dagang antara Cina dan AS secara tak langsung telah dimulai pada Sabtu (7/7) waktu setempat. Perang dagang ini berupa pemberlakuan tarif tinggi untuk produk ekspor yang masuk ke AS.
Beberapa waktu lalu Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita memperingatkan potensi perubahan pasar ekspor Cina dari AS ke kawasan Asia termasuk Indonesia.
Ia pun meminta pemerintah daerah mendorong masyarakat menggunakan produk dalam negeri. Begitu juga dengan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang diharapkan mampu berproduksi dengan kualitas agar mampu bersaing dengan produk luar negeri.
"Memenuhi pasar dalam negeri bukan sesuatu yang jelek karena dengan arus barang luar yang masuk, kalau produksi dalam negeri itu diserap di dalam sendiri itu kan positif," ujarnya.
Ekonom senior INDEF Dradjad Wibowo mengatakan tidak ada ancaman perang dagang antara Indonesia dengan AS. Dradjad justru geli kalau ada yang menyebut AS mengancam perang dagang dengan Indonesia, karena Indonesia belum 'levelnya' AS.
"Saya tentu saja kaget, tapi juga geli. AS diklaim mengancam perang dagang dengan Indonesia? Lucu," kata Dradjad, Kamis (6/7). Hal ini terkait dengan munculnya berita ancaman perang dagang dari Trump terhadap Indonesia. Dan dalam berita itu disebutkan Indonesia pun siap melakukan serangan balik.
Dijelaskannya, dalam perdagangan internasional ada yang disebut Generalized System of Preferences (GSP). GSP adalah sebuah sistem tarif preferensial yang membolehkan satu negara secara resmi memberikan pengecualian terhadap aturan umum WTO / Organisasi Perdagangan Dunia.
Singkatnya, lanjut Dradjad, melalui GSP satu negara bisa memberi keringanan tarif bea masuk kepada eksportir dari negara-negara tertentu, biasanya dari negara miskin. Sementara itu eksportir negara kaya tetap dikenakan aturan umum WTO.
Sejak 1974, AS sangat banyak memberikan GSP. Saat ini, kata anggota Dewan Kehormatan (Wanhor) PAN ini, setidaknya terdapat 112 negara merdeka dan 17 teritori yang mendapat GSP dari AS. Jumlah produk yang diberi GSP sekitar 5000-an item.
SUMBER