NUSANEWS - Persidangan kasus dugaan korupsi pemberian atau penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) untuk Bank Dagang Nasional Indonesia memasuki babak baru. Sejumlah saksi dan bukti memperlihatkan sejumlah indikasi adanya praktek korupsi yang ditaksir merugikan keuangan negara hingga sebesar Rp4,8 triliun tersebut. Selain itu, terungkap pula detik-detik dikeluarkannya kebijakan ini oleh pemerintah Megawati Soekarnonputri kala itu.
Mantan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie ingat betul sekitar medio 2001-2002 terjadi pertemuan di Istana Negara antara Presiden Megawati dengan dirinya bersama beberapa Menteri ketika itu, antara lain Menko Ekui Dorodjatun Kuntjoro-Djakti, Menteri Keuangan (Menkeu) Boediono, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, Jaksa Agung MA Rahman dan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra.
Ia menuturkan saat itu Megawati meminta Yusril Ihza Mahendra untuk membuat draf Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor BLBI yang telah menyelesaikan kewajibannya.
“Dalam sidang kabinet yang singkat itu Presiden Megawati mengatakan ‘Yusril susun (draf Inpres), memang tidak mengatakan Menteri Kehakiman untuk menyusun, hanya mengatakan ‘Yusril susun’,” kata Kwik Kian Gie dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (5/7).
Inpres yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 inilah yang akhirnya dijadikan sandaran hukum kepada debitur yang menyelesaikan kewajibannya membayar Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), termasuk pemilik BDNI Sjamsul Nursalim.
Pada pertimbangannya, Inpres itu menyatakan hal itu berdasarkan pada Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang rekomendasi yang berkaitan dengan perjanjian PKPS yang berbentuk Master of Settlement Agreement And Acquisition Agreement (MSAA); Master Of Refinancing And Note Issuance Agreement (MRNIA); dan Perjanjian PKPS serta Pengakuan Utang.
“Inpres itu lahir sebagai pelaksanaan UU Propenas dan Tap MPR yang mengatakan bahwa dengan adanya krisis ini tidak memberikan kenyamanan dan ketidakpastian jadi perlu diberi kepastian hukum lagi, itulah makanya instruksi presiden dibuat,” kata Kwik.
Atas keluarnya inpres ini pula Ketua Umum PDIP memerintahkan tujuh anak buahnya, Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Kehakiman dan HAM, para menteri anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan, Menteri Negara BUMN, Jaksa Agung, Kapolri, dan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengambil langkah yang diperlukan bagi PKPS dalam kasus BLBI.
“Kepada para debitur yang menyelesaikan kewajiban pemegang saham … diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum,” demikian salah satu poin bunyi Inpres tersebut.
Dampaknya, masalah debitor BLBI dianggap sudah selesai dengan membayar 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Selain itu inpres ini pun ‘sukses’ membuat Kejaksaaan Agung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada sejumlah obligor, di antaranya adalah Sjamsul Nursalim. Sjamsul ditetapkan tersangka pada Desember 2000 dan SP3 dikeluarkan pada Juli 2004.
Kwik menjelaskan ihwal pertama usulan tersebut dibahas saat pertemuan di kediaman Presiden Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar. Saat itu hadir Menko Ekuin, Dorodjatun Kuntjoro-Djakti, Menteri Keuangan, Boediono, Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi, Jaksa Agung, MA Rahman, dan Menteri/Kepala Bappenas, Kwik Kian Gie.
Pada pertemuan itu diingat Kwik sudah ada keputusan dari peserta rapat untuk menerbitkan SKL untuk obliogor yang kooperatif. Kwik saat itu menolak keras, ia berpendirian kalau obligor yang mendapat SKL bila uang yang terutang ke negara benar-benar masuk ke kas negara. Selain itu ia pun menegaskan jika hasil rapat tersebut tidak sah karena tidak ada undangan tertulis, tidak dilaksanakan di Istana Negara.
Lantas diadakanlah rapat kedua, yang kini dilaksanakan di Istana Negara. Saat itu peserta rapat antara lain, Kuntjoro-Djakti, Boediono, Sukardi, Rahman, dan Kwik sendiri. Kala itu Kwik kembali tidak sepakat hingga pada akhirnya Megawati menutup rapat dengan tidak mengambil keputusan.
Puncaknya terjadi pada rapat ketiga di Istana Negara yang dihadiri Kuntjoro-Djakti, Boediono, Sukardi, Rahman, dan Kwik Kian Gie serta Menteri Kehakiman, Yusril Mahendra.
Kwik mengaku dirinya ketika itu keukeuh tidak sepakat jika pemerintah menerbitkan SKL BLBI, namun ia tak berdaya membantah lantaran ‘dikeroyok’ para pembantu presiden Megawati agar mau menyepakati skema SKL tersebut.
“Saya sangat menentang penerbitan SKL dan berhasil menggagalkan dua kali upaya penerbitannya tapi kali yang ketiga saya kalah karena saya langsung menghadapi semua menteri yang menghantam saya sehingga saya tidak berdaya lagi untuk menolaknya,” kata Kwik.
Ia melanjutkan, usulan penerbitan SKL yang datang dari Syafruddin Arsyad Temenggung itu pun akhirnya dikeluarkan Megawati. “Dalam rapat sidang kabinet terakhir saya tidak banyak protes karena saya tidak berdaya dengan pembicaraan para menteri yang langsung saja bicara bertubi-tubi. Saya tidak berdaya karena tim Presiden Megawati menutup rapat dengan mengatakan ‘ya’,” kata Kwik.
Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra yang juga hadir dalam sidang tersebut sebagai penasihat hukum Syafruddin sedikit mengkoreksi keterangan Kwik tersebut. Ia mengkoreksi sebatas siapa yang diperintah Megawati menyusun draf inpres BLBI
“Yang menyusun inpres itu Sekretaris Kabinet (Seskab) bukan Menteri Kehakiman atau Menkumham,” kata Yusril.
Yusril pun menunjukkan salinan Inpres 8 tahun 2002 yang ditandatangani Megawati dan dikeluarkan oleh Deputi Sekretaris Kabinet bidang Hukum dan Perundang-undangan Lambok V. Nahatands.
“Saat rapat kedua Presiden mengatakan ‘Ya ini nasib saya mengambil keputusan-keputusan yang tidak populer’. Saat Presiden mau memutuskan seperti itu, saya katakan ‘Saya rela pelan-pelan mati’, Pak Bambang Kesowo bertanya ‘Kenapa mati mas?’, saya katakan ‘Saya tidak bisa jelaskan sekarang, pokoknya SKL itu akan menimbulkan kesulitan di kemudian hari’,” balas Kwik.
Bambang Kesowo lalu membuat memo dan Presiden pun menutup sidang kabinet tanpa membuat keputusan.
“Baru sidang ketiga dibuat inpres dan meminta ‘Yusril tolong disusun’, jadi perintah Presiden Megawati ke Pak Yursil definitif untuk menyusun draf,” jelas Kwik.
Terkuaknya perintah membuat draf tersebut pun menjadi tanda tanya besar, terlebih hingga kini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sama sekali belum membuat rencana untuk memeriksa Megawati Soekarno Putri. Padahal menurut Rachmawati Soekarnoputri tak hanya obligor, namun juga penerbit surat keterangan lunas, yang notabene Kakak kandungnya tersebut harus pula bertanggung jawab.
“Tidak hanya kepada pelaku, obligor atau koruptor yang terlibat dalam skandal BLBI, tapi juga yang membuat kebijakan SKL atau release and discharge di era Megawati [Soekarnoputri],” kata Rachmawati medio 2016.
Selain itu, mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin), Rizal Ramli, sempat menyebut adanya perbedaan dalam kebijakan terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) antara Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dengan Megawati Soekarnoputri yang ketika itu menjabat Wakil Presiden. Saat kekuasaan Gus Dur dijatuhkan, disaat itu pula kebijakan BLBI berubah.
Ia menuturkan, saat Gus Dur masih memimpin, pemerintah memiliki target agar semua pihak yang mendapatkan BLBI mengakui hutangnya ke negara. Upaya yang dilakukan agar para obligor itu mengakui hutangnya ialah dengan memberikan ‘personal guarantee’.
“Pada waktu itu kami minta supaya diberikan ‘personal guarantee’, karena sebelumnya tidak diminta, agar punya tanggung jawab sampai hutangnya selesai. Karena dengan memberikan ‘personal guarantee’, putra sampai cucu tanggung jawab kepada hutang tersebut,” papar Rizal, dalam wawancara eksklusif salah satu televisi nasional, Jumat (28 April 2017).
Namun sayangnya, saat Megawati memegang mandat tertinggi rakyat kebijakan ‘personal guarantee’ itu dihapus. Keputusan inilah yang kemudian disayangkan oleh Rizal, sebab dengan kebijakan itu Pemerintah justru lemah.
“Tetapi, setelah kami tidak di situ, ‘personal guarantee’ malah dibalikin kembali, sehingga pemerintah ‘bargaining position’ nya menjadi lebih lemah dibanding penghutang,” sesalnya.
Pada kesempatan yang lain, Rizal Ramli menilai adanya campur tangan asing dari pertama kali dikeluarkannya kebijakan BLBI. Ia menunjuk International Monetary Fund (IMF), sebagai biang keladi dari kesemrawautan kasus BLBI.
Rizal menceritakan sebelum terjadinya krisis moneter di Indonesia pada 1998, Menteri Ekonomi di era Presiden Soeharto, mengundang IMF ke Jakarta.
“Seperti diketahui, Asia pada tahun 97-98 mengalami krisis (ekonomi). Kena negara-negara tetangga, kena Indonesia. Kalau kita tidak mengundang IMF, ekonomi Indonesia tetap kena krisis, anjlok sekitar 6 persen,” kata Rizal Ramli, Jumat (6/7).
Kehadiran IMF ini menurut Rizal justru membuat perekonomian Indonesia anjlok hingga 13 persen.“Nah, setelah IMF masuk, dia sarankan tingkat bunga bank dinaikkan dari 18 persen rata-rata jadi 80 persen. Dampaknya, banyak perusahaan yang sehat jadi bangkrut, tidak tahan dengan bunga segitu,” jelas Rizal.
Selain itu, IMF memerintahkan pemerintah Indonesia saat itu menutup 16 bank kecil. Hal tersebut justru membuat rakyat tidak percaya dengan seluruh bank di Indonesia, termasuk swasta.
“Rakyat mau menarik uang. Seperti BCA, Danamon, bank-bank itu nyaris bangkrut. Akhirnya pemerintah terpaksa suntik BLBI, ketika itu senilai 80 miliar dolar. Ini termasuk langkah penyelamatan bank terbesar di dunia,” imbuhnya.
Terakhir, IMF juga memaksa pemerintah Indonesia menaikan harga BBM hingga 74 persen pada 1 Mei 1998. Rizal Ramli ketika itu telah memperingatkan sebaiknya tidak dilakukan karena suasana sosial sedang “panas”.
“Namun, pada 1 Mei Presiden Soeharto naikkan harga BBM. Besoknya langsung terjadi demonstrasi besar-besaran. Akibat tiga kebijakan ini terjadilah kasus BLBI,” kata Rizal Ramli.
Kasus BLBI terjadi saat krisis moneter terjadi di Indonesia pada 1997—1998. Sejumlah bank memiliki saldo negatif akhirnya mengajukan permohonan likuiditas kepada BI saat itu, namun akhirnya diselewengkan.
Total dana yang dikucurkan mencapai Rp144,53 triliun untuk sedikitnya 48 bank. Pada Januari 1998, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dibentuk untuk menagih kewajiban para obligor.
Pemerintahan itu merilis Surat Keterangan Lunas kepada sedikitnya lima obligor. Mereka adalah BCA (Salim Group); Bank Dagang Negara Indonesia (Sjamsul Nursalim); Bank Umum Nasional (Muhammad Bob Hasan); Bank Surya (Sudwikatmono); dan Bank Risjad Salim International (Ibrahim Risjad).
Sementara itu dari sekian obligor, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru mencium adanya indikasi korupsi dari penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
SKL untuk Sjamsul, yang merupakan salah satu penerima BLBI, diterbitkan oleh Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), selaku Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada April 2004 silam.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Temenggung sebagai tersangka. Dia dianggap melakukan korupsi terkait dengan penerbitan SKL untuk Sjamsul Nursalim.
Rizal dan beberapa tokoh nasional lain sempat menegaskan kalau kasus ini merupakan kejahatan besar yang dilakukan para penguasa negeri.“Kasus BLBI ini pelakunya elit semua,” kata Rizal Ramli beberapa waktu yang lalu.
Akan tetapi faktanya sejumlah keterangan dan analisa para tokoh tersebut tidak dipertimbangkan KPK. Komisioner KPK, sudah ‘Declare’ tidak akan memproses hukum instruksi presiden Megawati yang melandasi penerbitan SKL.
KPK menyatakan hanya terfokus bagaimana kebijakan itu diputar di bawah menjadi sebuah tindakan transaksional. Hal tersebut pula-lah yang dipakai KPK untuk tidak menghadirkan Megawati ke kursi pemeriksaan.
“Menyangkut kebijakan itu sudah clear and cut kami tidak masuk di situ,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Jumat (6/7).
SUMBER