NUSANEWS - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dinilai bisa menghentikan pembangunan enam ruas tol dalam kota dengan segala kewenangan yang dipegangnya. Anies diminta mencontoh sikap Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini ketika dengan tegas menolak tol dalam kota di Surabaya.
Ketua Ketua Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan, Risma kala itu bersikukuh tak akan mengeluarkan izin penggunaan tanah jika pembangunan tol dalam kota dilanjutkan. Ketegasan dan kegigihan Risma menolak proyek ini membuat pemerintah pusat mundur teratur.
"Sebenernya tergantung juga, kalau gubernur nggak mau ya bisa saja dibatalkan. Seperti kasus di Surabaya ketika wali kota tidak setuju dengan tol dalam kota, bisa dikeluarkan dari program strategis nasional," kata dia saat dihubungi, Ahad (15/7).
Safrudin mengatakan, penolakan itu harus disertai argumen logis dan solusi terkait gagasan untuk menanggulangi kemacetan Ibu Kota yang kian parah. Intinya, kata dia, Anies tak boleh berpangku tangan atau menganggap selesai persoalan dengan hanya menyatakan proyek ini diambil pemerintah pusat.
Tahun 2014, Risma bersikukuh menolak pembangunan tol dalam kota. Berbagai argumen disampaikan wali kota perempuan pertama di Surabaya ini terkait penolakannya. Salah satunya, Risma lebih memilih konsep membangun frontage road sebagai solusi kemacetan.
Pemkot Surabaya saat itu langsung merevisi peraturan daerah tentang rencana tata ruang tata wilayah (RTRW). Pada akhirnya, Jalur Lingkar Luar Timur (JLLT) dan Jalur Lingkar Luar Barat (JLLB) diselesaikan Risma.
Risma juga menilai, untuk mengurangi kemacetan bukan membangun tol tengah kota sebagaimana dalih yang dijadikan basis argumentasi pihak yang pro. Risma menganggap menambah panjang jalan akan terus diikuti penambahan jumlah kendaraan. Ia lebih memilih menata transpotasi umum salah satunya dengan membangun monorel.
Sikapnya ini membuat posisi Risma sebagai wali kota 'digoyang'. Tenanan politik luar biasa yang diterima membuatnya membuka opsi untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Sikap tegas dan tanpa kompromi ini, menurut Safrudin, bisa dicontoh Anies jika betul-betul menolak proyek enam ruas tol dalam kota di Jakarta.
"Izin secara proyek memang pusat. Tapi penggunaan tanah kan gubernur. Ibaratnya peran seperti wali kota Surabaya, wali kota yang punya peran penggunaan tanah boleh atau tidak," ujar dia.
Safrudin mengatakan, hasil kajian yang dilakukan KPBB menunjukkan tak adanya urgensi membangun tol dalam kota. Studi kelayakan yang dilakukan PT Pembangunan Jaya tahun 2005 terkait enam ruas tol dalam kota di Jakarta menunjukkan bahwa prosentase terbesar mobilitas warga di DKI adalah pengguna angkutan umum dan pejalan kaki dengan total 64 persen.
Sementara pengguna mobil atau kendaraan pribadi, kata dia, hanya 14 persen. Artinya, menurut Safrudin, pembangunan tol dalam kota hanya melayani sebagian kecil masyarakat. Hal ini menunjukkan ketidakadilan dalam perencanaan pembangunan.
"Coba lihat juga, tol dalam kota yang nggak macet di mana. Di gerbang-gerbang masuk jalan tol dalam kota mana yang nggak macet. Semanggi, Pancoran, Cawang. Hampir semua terjadi kemacetan," ujar dia.
Ketua Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Abdurrahman Suhaimi mengatakan, belum ada pembahasan apapun di DPRD terkait proyek enam tol dalam kota sebelum diambil alih pemerintah pusat pada Juni 2017 melalui Perpres 58/2017. Pemprov dan DPRD Komisi D yang membidangi pembangunan infrastruktur tak pernah membicarakan apapun terkait tol tersebut.
"Kami waktu itu di Komisi D tak pernah membahas apapun soal tol dalam kota itu," ujar Suhaimi.
Gubernur Anies mengungkapkan enam proyek tol dalam kota diambil alih pemerintah pusat. Menurut Anies, pengambilalihan dilakukan dua bulan usai pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta 2017. Ia mengaku tidak mengetahui alasan proyek enam tol dalam kota ditarik menjadi proyek strategi nasional. Ia meminta media menanyakan alasan alasannya karena proyek sudah ditarik sebelum ia dilantik menjadi gubernur.
SUMBER