NUSANEWS - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum yang melarang mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif tidak tepat karena bertentangan langsung dengan undang-undang.
"Dirjen Peraturan Perundang-undangan sudah mengundang Kemendagri dan Bawaslu. Mereka mengatakan ini tidak pas, saya juga melihat di situ ada yang tidak pas karena bertentangan langsung dengan undang-undang," kata Yasonna seusai menghadiri Seminar Revolusi Mental di Jakarta, Kamis (07/06/2018).
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa bekas narapidana kasus korupsi bisa mengikuti pencalonan menjadi anggota legislatif (caleg) dengan syarat memberitahukan bahwa dia pernah menjadi narapidana kasus korupsi.
Yasonna meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencari cara yang tidak bertentangan dengan undang-undang dalam mencapai tujuan baik untuk memastikan "kebersihan" caleg dari korupsi.
"Cara yang baik, kepentingan yang baik, tujuan yang baik jangan dilakukan dengan cara yang salah. Masih ada cara lain yang barangkali dampaknya sama saja," kata Yasonna.
Dia menekankan bahwa memang ada narapidana kasus korupsi yang dicabut hak politik selama kurun tertentu, namun pencabutan hak politik itu dilakukan melalui proses pengadilan.
"PKPU itu bukan undang-undang. Dia jauh di bawah undang-undang. Di bawah undang-undang masih ada PP, Perpres, maka jauh sekali. Jangan membiasakan membuat peraturan karena arogansi institusi," kata Yasonna.
Dia mencontohkan, kalau tetap memberlakukan larangan bekas narapidana kasus korupsi mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, maka KPU berisiko menghadapi gugatan dengan bekas narapidana kasus korupsi yang hak politiknya tidak dicabut dalam proses pengadilan.
Guna menyiasati masalah itu, menurut Yasonna, KPU bisa mengumpulkan seluruh partai politik dan melakukan deklarasi bersama untuk tidak mencalonkan mantan narapidana kasus korupsi dalam pemilihan anggota legislatif tahun 2019.
"Itu salah satu caranya supaya kita jangan mentang-mentang bisa buat peraturan, lalu menabrak undang-undang," demikian Yasonna Laoly.
Niat bagus, prosedur tak tepat
Hal senada sempat dilontarkan pengamat politik Lely Arrianie yang menilai aturan Komisi Pemilihan Umum melarang mantan narapidana koruptor maju sebagai calon legislatif pada Pemilu 2019 sudah tepat, namun prosedurnya mengalami kesalahan.
"Aturan itu tepat, tapi prosedurnya salah. Sebab keputusan MK kan sudah mengatur boleh asal mereka mengumumkan pernah menjadi koruptor," kata Lely seperti diwartakan Antara, Rabu (06/06).
MK pernah mengeluarkan putusan atas uji materi UU Pemilu yang pada putusannya memperbolehkan mantan narapidana koruptor menjadi caleg selama mengumumkan statusnya sebagai mantan napi koruptor.
"Artinya larangan KPU tidak sesuai dengan keputusan MK," ujar Lely.
Dia menekankan supaya larangan napi koruptor maju sebagai caleg tidak menyalahi prosedur, yang harus dilakukan adalah uji materi kembali terhadap UU Pemilu, atau mengganti isi pasal dalam undang-undang itu.
Dukungan publik
KPU yang melarang mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2019mendapatkan dukungan luas, termasuk Wakil Presiden, Jusuf Kalla.
“Saya sudah setuju, supaya betul-betul DPR punya wibawa yang baik. Ya (saya) mendukung itu,” kata Kalla, di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, kemarin.
Ia mengatakan pelarangan terhadap mantan koruptor dapat meminimalkan tindak pidana korupsi, khususnya yang menyangkut para anggota parlemen.
“Kita kan selalu ada faktor untuk memilih orang-orang yang baik. Orang bekerja saja harus pakai surat keterangan kelakuan baik, apalagi ini mau jadi anggota DPR. Jadi kalau anggota DPR-nya cacat, bagaimana jadinya nanti,” kata Kalla, yang pernah menjadi ketua umum DPP Partai Golkar itu.
Sebelumnya, terjadi perdebatan antara KPU dan DPR terkait rencana KPU mengatur pelarangan bagi mantan terpidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2019.
KPU tetap mencantumkan larangan itu dalam naskah rancangan (draft) Peraturan KPU tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota, yang kemarin dikirimkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk diharmonisasi.
Namun Presiden Joko Widodo tidak sepakat dengan pengaturan larangan itu, karena melarang bekas terpidana korupsi untuk berpolitik praktis itu bertentangan dengan hak konstitusi mereka.
Menurut Jokowi, bekas koruptor yang ingin mencalonkan diri bisa diberi "tanda peringatan" tersendiri, sehingga tetap dapat mencalonkan diri dengan label "bekas koruptor".
SUMBER