NUSANEWS - Orang Minangkabau identik dengan budaya merantau, baik untuk mengadu nasib di ranah bisnis maupun melanjutkan pendidikan tinggi. Namun, setelah meraih gelar sarjana, tidak banyak yang kembali pulang ke kampung.
BBC Indonesia menemui sejumlah pemuda asal Payakumbuh, Sumatera Barat, yang usai kuliah memutuskan pulang dan berbisnis di kampung halaman.
Sarjana hukum jadi pengusaha katering
Ahlul Badrito Resha masih ingat dengan jelas bagaimana kekecewaan orang tua dan gurunya ketika dia, yang lulus dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) 2011 lalu, memutuskan pulang kampung dan mencoba berbisnis.
“Karena dulu waktu kuliah dan SMA, prestasi saya di atas rata-rata. Asumsi keluarga dan guru, saya bisa bekerja di kementerian yang prestisius. Ketika saya putuskan pulang, mereka melihatnya sebagai pilihan yang menyedihkan,” tutur Ahlul.
Ahlul mengaku sejak sebelum kuliah, memang tidak berminat mencari pekerjaan di Pulau Jawa. “Saya kuliah untuk belajar bagaimana kehidupan di luar, belajar tata cara sukses mereka dan kembali pulang.”
Keinginannya untuk pulang disulut banyaknya kakak-kakak kelas `yang pintar`, tetapi enggan kembali ke Payakumbuh setelah kuliah karena minimnya peluang kerja. “Karena itu ada ruang kosong di Payakumbuh, kekurangan orang kreatif.”
Melihat mulai ramainya bisnis kuliner di Payakumbuh, dia pun mendirikan kafe yang menyediakan makanan asing seperti burger, spaghetti, hingga mie ramen. Namun, usahanya ini tidak berjalan mulus.
“Setahun mencoba, ternyata (penghasilannya) cuma cukup untuk membayar cicilan motor. Jadi saya pikir ini bukan pilihan tepat.”
Setelah mengikuti sebuah latihan kewirausahaan, Ahlul terinspirasi untuk membuka usaha kuliner “yang faktor pengali” atau jumlah makanan yang dijual, lebih banyak.
Dia pun melirik usaha katering untuk berbagai pesta, termasuk pernikahan.
“Karena di Payakumbuh itu pesta pernikahan dimulai dari pagi (pukul 11.00) sampai malam (pukul 21.00). Itu rata-rata butuh 500 sampai 2.000 porsi makanan. Ini faktor pengalinya lebih bagus, makanya saya beralih ke katering.
“Selain itu, katering ini sudah dipesan dari awal jumlah porsinya. Kalau kafe kemungkinan ada yang bersisa. Kalau katering tidak ada faktor sisanya,” jelas Ahlul.
Langkahnya sebagai pengusaha katering dipermudah karena orang tuanya memiliki usaha tenda pelaminan.
Ahlul pun menjuat paket makanan dengan harga beragam. Paket Rp27.000 per porsi dengan dua lauk protein dan paket Rp17.000 per porsi dengan satu lauk protein.
“Rendang, kalio daging dan ayam bumbu adalah menu protein paling favorit.”
Salah satu tujuannya berbisnis di kampung halaman pun terwujud: kateringnya menyerap tenaga kerja. Kini dia mempekerjakan empat orang koki dan sekitar 15 petugas lapangan.
Dan perlahan-lahan, Ahlul pun bisa menjawab keraguan keluarga dan guru, terkait pilihannya itu. “Dibandingkan awal-awal, sekarang pendapatan sudah naik 10 kali lipat.”
Setiap bulannya Ahlul punya sekitar 10 proyek katering, dengan rata-rata 1.000 porsi per katering.
“Rata-rata penghasilan bersih itu Rp5 juta per acara”. Alhasil, Ahlul bisa mengantongi penghasilan bersih hingga Rp50 juta per bulannya.
Meskipun tampak nikmat bergelut di dunia katering, lelaki ini mengaku masih memendam hasrat untuk menyalurkan pengetahuannya di bidang hukum, ilmu yang didalami selama empat tahun delapan bulan berkuliah.
“Karena saya dari SMA tertarik di bidang itu… Saat kuliah saya juga jadi Ketua BEM Fakultas Hukum UGM. Jangka panjangnya, saya ingin abdikan diri di bidang politik, jadi wakil rakyat di DPR, misalnya,” pungkas Ahlul.
Bisnis pertanian beromzet miliaran
Berbeda dengan Ahlul, Chairul Mufti, balik kampung dengan menekuni usaha yang sejalan dengan ilmu yang dipelajarinya saat berkuliah di Universitas Padjajaran, Bandung, yaitu agribisnis.
Lelaki yang lulus kuliah pada 2010 itu membuka bisnis penjualan alat dan bahan baku pertanian, misalnya benih, pupuk, pestisida, alat pemompa, cangkul dan lain sebagainya.
“Banyak teman saya waktu masih mahasiswa berpikir, setelah lulus kuliah mereka akan menjadi karyawan atau pegawai negeri sipil (PNS),” tutur pemuda yang biasa disapa Heru itu.
Apalagi mayoritas teman-teman satu jurusannya tidak ada yang bekerja di dunia pertanian. “Kebanyakan di bank, mereka gengsi kerja di pertanian. Lalu saya putuskan mengapa harus ikut orang lain?”
Dia pun memilih memulai usaha bisnis pertaniannya itu di kampung halaman, karena melihat potensinya yang masih terbuka lebar.
“Karena di daerah kami di Payakumbuh ini semua bisa tumbuh; hortikultura ada, perkebunan ada. Jadi sektor pertanian masih sangat luas.”
Setelah tujuh tahun berbisnis, konsumen Heru pun tidak lagi hanya petani di Kota Payakumbuh dan kabupaten tetangga, 50 Kota, tetapi juga Bukittinggi, Padang Panjang, Solok, Pasaman, Pesisir Selatan, bahkan hingga ke Provinsi Bengkulu.
Dia pun merasa kesejahteraan lebih gampang untuk dinikmati di kampung halamannya ini.
“Kalau kita dapat penghasilan contohnya Rp50.000 di sini, kita bisa makan dan hidup untuk tiga hari. Tapi kalau di Jakarta, Rp50.000 mungkin hanya untuk sekali makan. Dan untuk menabung uang di kampung lebih baik, kita bisa menyimpan lebih banyak,” tuturnya.
Namun, dirinya tidak menampik, hidup lebih empat tahun di Bandung, telah membuatnya mengenal banyak aspek gaya hidup, yang tidak bisa dirasakannya di kampung halaman.
“Pasti (kurang asik) tidak ada mal misalnya. Tapi karena ke Jakarta atau ke Bandung itu cuma naik pesawat, kalau mau ke sana sekarang ya gampang, kita bisa nikmati juga (gaya hidup) kota besar, walau cuma sekali-sekali.”
Dengan empat tokonya, omzet usaha Heru saat ini tidak tanggung-tanggung, mencapai Rp3 miliar per bulannya.
Namun, Heru menegaskan semuanya tidak melulu soal uang. Ada kebanggaan dan kepuasan tersendiri bisa berbisnis dan berusaha di kampung halaman.
“Kita pulang ke daerah, kita tahu permasalahan daerah kita sendiri. Dan dari segi pribadi, kita lulusan sarjana yang kuliah di universitas ternama, dan kita pulang dengan kepala tegak.
“Memang banyak cibiran-sindiran mengapa harus pulang. Namun, setelah enam-tujuh tahun, saya bisa buktikan, saya ada di kampung, tetapi tak jauh kalah dengan kawan-kawan yang ada di Jawa. Mungkin bisa dibilang saya bisa lebih dari mereka,” tuturnya.
Dari tenaga IT jadi peternak
Perdana Agusta, yang akrab disapa Agung, lulus jurusan IT (information technology) dari Monash University, Australia, pada 2004.
Usai lulus, di pikirannya terus berkecamuk bahwa yang menjadi hasrat hidupnya bukanlah bekerja di bidang IT murni, tetapi berbisnis.
“Kuliah itu bukan serta merta harus bekerja sesuai dengan apa yang kita pelajari. Kuliah itu untuk membangun karakter. Pembentukan pola kita berpikir, kita belajar untuk ambil keputusan, bagaimana riset, dan mengembangkan karakter diri.”
Ditambah keinginannya untuk dekat dengan orang tua, Agung pun pulang ke Payakumbuh. Dia yakin, bisnis di daerah punya peluang lebih besar untuk berkembang.
“Karena di luar negeri sendiri kehidupan orang stagnan sebenarnya. Jadi, dengan penghasilan besar, biaya hidupnya juga besar.
“Lebih mungkin untuk kaya di daerah. Kalau di Jakarta terlalu banyak persaingan. Di daerah (Payakumbuh) potensinya besar, tetapi tidak dilirik banyak orang,” tutur Agung.
Melihat banyak orang yang beternak ayam petelur di Payakumbuh. Agung pun mulai membuka bisnis penjualan obat untuk hewan.
Dua tahun menjalani bisnis ini membuatnya kerap bertemu peternak ayam. Pada 2007, Agung membeli sebuah peternakan ayam yang memiliki 60.000 ekor ayam petelur produktif.
“Kalau dagang biasa, kita hanya berhubungan dengan pelanggan. Kalau jadi peternak, kita juga berhubungan dengan makhluk hidup lain, yang kompleks pemeliharaannya, saya jadi tertarik, tertantang.”
Titik balik bisnis ayam petelur ini terjadi pada tahun 2008, ketika dia ingin mencari cara bagaimana agar produktivitas telur melonjak.
Setelah riset panjang ditambah kunjungan ke Malaysia dan Thailand, Agung menyimpulkan dia harus mengubah peternakan tradisionalnya menjadi peternakan teknologi tinggi, dengan sistem serba otomatis.
Di sinilah pendidikan masa kuliahnya terpakai. Dia mengaku “tidak mengalami kesulitan” untuk menggunakan teknologi yang diimpornya dari Jerman.
“Di Sumatera Barat, kami yang pertama menggunakan sistem peternakan otomatis ini. Bahkan di seluruh Indonesia baru 3-5% yang menggunakan sistem otomatis.”
Dengan sistem otomatis, suhu kandang ayam bisa diatur optimal untuk bertelur (18-20 derajat Celcius) dan pemberian pakan dilakukan oleh mesin “sehingga lebih sedikit pakan yang terbuang”.
“Produktivitas meningkat drastis. Untuk ternak tradisional, di lahan dua hektar misalnya, hanya punya populasi 40.000 ekor ayam. Tapi kalau di sini (sistem otomatis), lahan dua hektar bisa menampung 350.000 ekor ayam.”
Alhasil, Agung bercerita, setelah menggunakan teknologi otomatis profitnya meningkat sampai 100%.
Saat ini, sebagai salah satu peternak ayam petelur terbesar di Payakumbuh, Agung memiliki 500.000 ekor ayam di delapan peternakan, dengan produksi 400.000 butir telur per hari.
“Omzetnya sekitar Rp13 miliar rupiah sebulan.”
Pasarnya pun tak tanggung-tanggung. Selain menyalurkan telur secara lokal, 60% telur yang diproduksi peternakan Agung, dikirim ke Jakarta.
Agung pun teringat masa-masa ketika dia masih dipandang sebelah mata.
“Bagi orang Minang, selorohnya itu, `Kamu jauh-jauh sekolah, tapi ujung-ujungnya ternak ayam kayak yang lain`.
“Tapi satu hal yang membuat saya berbeda adalah, meski sama-sama ternak ayam, saya produksi dan jual dengan cara berbeda, berdasarkan pengalaman yang ditempa. Konsepnya berbeda. Dan sekarang terlihat, hasilnya juga berbeda, terbukti,” tutup Agung.
SUMBER