NUSANEWS - Amnesty International meluncurkan laporan tahunan The State of The Wolrd’s Human Rigts secara serentak di seluruh dunia, Kamis (22/02/2018). Laporan yang menganalisis situasi hak asasi manusia (HAM) di 159 negara di dunia termasuk Indonesia itu menekankan pada perkembangan politik kebencian selama 2017.
“Laporan yang sebenarnya isinya peringatan kepada seluruh dunia tentang keadaan baru yang sangat mengkhawatirkan, yaitu politik kebencian yang disponsori oleh negara dan aktor non negara di seluruh dunia,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, di Jakarta.
Menurut laporan tersebut, politik kebencian telah menyebar ke seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia. Hal itu merupakan fenomena global berupa lahirnya pemimpin populis kanan yang mengeksploitasi retorika kebencian seperti Donald Trump di Amerika Serikat, Rodrigo Duterte di Filipina, Narendra Modi di India, Recep Tayyip Erdogan di Turki, dan Vladimir Putin di Rusia untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan diskriminatif dan anti-HAM yang mereka keluarkan.
Salah satu yang disoroti dalam laporan itu adalah politik kebencian yang ditujukan kepada umat Islam. Eksploitasi retorika kebencian dilakukan oleh pemimpin negara, termasuk untuk memenangkan kontestasi elektoral. Laporan Amnesty International mengungkap fakta politik kebencian terhadap umat Islam di sejumlah negara.
1. Amerika Serikat
Dalam kasus Amerika Serikat, eksploitasi retorika kebencian telah digunakan oleh Trump dalam proses kampanye pemilihan presiden. Dengan mengusung politik kebencian terhadap muslim dan imigran, akhirnya tokoh Partai Republik itu mengalahkan Hillary Clinton, yang sebelumnya di unggulkan.
Politik kebencian Amerika Serikat sangat terlihat di masa Trump adalah dengan diterbitkannya perintah eksekutif (executive order) yang isinya melarang pendatang dan pengungsi dari tujuh negara Islam, yaitu Suriah, Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan dan Yaman. “Itu menimbulkan praktik diskriminasi yang luar biasa,” kata Usman.
Selain itu, yang disoroti dari Amerika adalah menurunnya pelayanan kesehatan dan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Bahkan pemerintahan Trump juga mulai mencampuri urusan kebebasan pers.
Ketika Trump memenangkan pemilu dengan retorika kebencian, maka dunia melihat bahwa retorika kebencian dan rasisme Trump yang menyuarakan anti-Meksiko anti-Islam itu berhasil mendapatkan suara yang cukup besar. Bahkan sebelumnya diremehkan oleh para pengamat dan intelektual.
“Kemenangan Trump itu direplikasi oleh banyak pihak di negara-negara lain,” ujar Hamid.
2. Mesir
Krisis hak asasi manusia Mesir terus berlanjut tanpa henti. Amnesty Interntional menyebut pihak berwenang di bawah rezim Abdul Fattah Al Sisi menggunakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Sementara penculikan paksa dilakukan terhadap ratusan orang dan puluhan lainnya dieksekusi tanpa proses hukum.
Sepanjang tahun 2017, pasukan keamanan Mesir terus menangkap ratusan orang hanya karena terlibat dalam keanggotaan atau diduga sebagai anggota Ikhwanul Muslimin. Pihak berwenang kemudian melakukan penahanan prapersidangan dalam waktu yang lama, bahkan sampai lebih dari dua tahun, sebagai cara untuk menghukum para pembangkang pemerintah.
Mesir juga menjatuhkan hukuman kepada ratusan orang melalui persidangan massalh yang jauh dari keadilan, bahkan beberapa orang diantaranya dijatuhi hukuman mati. Pada bulan September sebuah pengadilan pidana di Kairo menjatuhkan hukuman antara lima sampai 25 tahun kepada 442 orang, dalam kasus demonstrasi Masjid al-Fateh Agustus 2013. Proses pengadilan tak adil itu sebelumnya menghadapkan 494 terdakwa.
Pihak Pengadilan hanya mengandalkan laporan dari Agen Keamanan Nasional dan bukti yang tidak sehat. Bukti itu termasuk dari pengakuan yang diperoleh dari siksaan selama di penjara. Warga sipil juga terus menghadapi hukum yang tidak adil di pengadilan militer. Setidaknya 384 orang diajukan ke pengadilan militer sepanjang tahun.
Tragisnya, pada bulan Februari seorang anggota parlemen mengusulkan amandemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden dari empat tahun menjadi enam tahun. Pada bulan April, Presiden al-Sisi mengeluarkan sebuah amandemen undang-undang baru yang melemahkan jaminan pengadilan yang adil dan memfasilitasi penangkapan sewenang-wenang, masa penahanan praperadilan yang tidak pasti, dan penculikan paksa. Perubahan tersebut juga memungkinkan pengadilan pidana mencantumkan orang dan entitas tertentu dalam daftar “terorisme” hanya berdasarkan informasi kepolisian.
3. India
Untuk kondisi HAM di India, Amnesty International mengawali laporannya dengan menyebut kelompok minoritas agama, khususnya Muslim, menghadapi meningkatnya sikap permusuhan oleh kelompok garis keras Hindu, media pro-pemerintah dan beberapa pejabat negara. Puluhan kejahatan kebencian terhadap Muslim terjadi di seluruh negeri.
Sedikitnya 10 pria Muslim dihukum gantung dan banyak orang yang terluka oleh akibat perlakuan anarkis kelompok perlindungan sapi. Kelompok itu kebanyakan melakukan aksinya dengan didukung oleh anggota partai penguasa yang dipimpin perdana menteri Narendra Modi, Partai Bharatiya Janata (BJP).
4. Cina
Politik kebencian terhadap umat Islam di Cina didominasi dari wilayah Xinjiang, yang menyasar etnis Uighur. Penindasan yang dilakukan atas nama kampanye “anti-separatisme” atau “kontraterorisme” terjadi begitu parah.
Di bawah kepemimpinan Sekretaris Partai Komunis, Chen Quanguo, otoritas Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR) melakukan penekanan terhadap apa yang diklaim sebagai stabilitas sosial dan peningkatan keamanan. Sejumlah laporan menyebut XUAR telah mendirikan sejumlah fasilitas penahanan, yang disebut-sebut sebagai “pusat-pusat ekstremisme kontra”, “pusat studi politik”, atau “pusat pendidikan dan transformasi”. Di situ orang-orang ditahan sewenang-wenang dalam waktu yang tidak ditentukan dan dipaksa untuk belajar bahasa, hukum, dan kebijakan Cina.
Pada bulan Maret, XUAR memberlakukan “Peraturan Deextremification” yang melarang berbagai jenis perilaku yang dilabeli “ekstremis”. Perilaku yang dimaksud antara lain menyebarkan “pemikiran ekstremis”, meremehkan atau menolak menonton program radio dan TV publik, mengenakan burka, memiliki janggut yang tak wajar, menolak kebijakan nasional, serta menerbitkan, mendownload, menyimpan atau membaca artikel, publikasi atau materi audio visual yang mengandung “konten ekstremis”.
Laporan Amnesty Inernational menyebutkan bahwa pada bulan April, pemerintah Cina menerbitkan daftar nama yang dilarang untuk digunakan. Sebagian besar nama-nama itu berasal dari Islam. Pemerintah juga mewajibkan semua anak di bawah usia 16 tahun yang memiliki nama terlarang itu untuk mengubahnya.
Pada bulan Mei, sebuah laporan media menyebutkan bahwa pihak berwenang Cina di XUAR telah memulai sebuah kebijakan untuk memaksa semua warga Uighur yang belajar di luar negeri untuk kembali ke Cina. Enam orang Uighur yang pernah belajar di Turki namun telah kembali Xinjiang dipenjara mulai dari 5 sampai 12 tahun, dengan tuduhan yang tidak jelas. Pada bulan April, pihak berwenang China menahan kerabat beberapa pelajar Uighur di Mesir untuk memaksa mereka pulang ke rumah pada bulan Mei. Laporan diterima Amnesty menyebutkan bahwa beberapa orang yang kembali disiksa dan dipenjara.
Pada bulan Juli, pihak berwenang Mesir mulai memulangkan ratusan warga Cina di Mesir, terutama orang Uighur. Dari jumlah tersebut, sedikitnya 22 orang Uighur secara paksa kembali ke Cina. Buzainafu Abudourexiti, seorang wanita Uighur yang kembali ke Cina pada tahun 2015 setelah belajar selama dua tahun di Mesir, ditahan pada bulan Maret dan dijatuhi hukuman tujuhntahun penjara pada bulan Juni melalui persidangan rahasia.
Pada Agustus, media internasional melaporkan bahwa otoritas pendidikan di Provinsi Hotan pada bulan Juni sebuah aturan yang melarang penggunaan bahasa Uighur di sekolah-sekolah. Banyak etnis muslim Uighur tinggal di provinsi itu, namun mereka dilarang melakukan “kegiatan kolektif, kegiatan publik, dan pengelolaan sistem pendidikan”. Laporan media juga mengaungkapkan bahwa keluarga di seluruh wilayah itu didesak untuk menyerahkan Al-Qur’an dan barang-barang religius lainnya kepada pihak berwenang, jika tidak maka mereka diancam dengan hukuman.
5. Filipina
Amnesty International menyebut politik kebencian di Filipina dominan digunakan dalam kampanye perang melawan narkoba. Namun politik kebencian terhadap kelompok umat Islam juga terlihat dalam operasi militer di kota Marawi, Mindanao. Presiden Duterte mengumumkan darurat militer pada tanggal 23 Mei, untuk memerangi kelompok Maute, yang berafiliasi dengan Daulah Islamiyah (ISIS).
Di lapangan, pasukan bersenjata Filipina menahan dan memperlakukan warga sipil sewenang-wenang. Pemboman besar-besaran mereka lakukan terhadap wilayah-wilayah yang dikuasai militan di kota Marawi mengenai seluruh wilayah dan membunuh warga sipil.
Belakangan muncul desakan untuk penyelidikan, mendesak ketundukan tentara Filipina terhadap hukum humaniter internasional. Angkatan bersenjata Filipina mengatakan bahwa mereka akan menyelidiki tuduhan kejahatan perang. Darurat militer kemudian diperpanjang untuk kedua kalinya pada bulan Desember, yang memunculkan kekhawatiran bahwa peraturan militer dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia lebih lanjut.
6. Myanmar
Untuk menggambarkan kondisi di Myanmar, Amnesty International menyebut situasi hak asasi manusia memburuk secara dramatis. Ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri dari kejahatan terhadap kemanusiaan di negara bagian Rakhine ke negara tetangga Bangladesh.
Tentara melakukan pelanggaran ekstensif terhadap hukum humaniter internasional. Pihak berwenang terus membatasi akses kemanusiaan di seluruh negeri, dan pembatasan kebebasan berekspresi tetap ada. Selain itu ada peningkatan intoleransi agama dan sentimen antiMuslim.
“Dalam kasus Myanmar khususnya di Rakhine State, itu menunjukkan bahwa retorika kebencian terhadap etnis Rohingya sudah dilakukan dalam tindakan-tindakan kekerasan, operasi militer yang menghapuskan etnis muslim minoritas Rohingya dari territory Myanmar,” kata Usman Hamid.
7. Indonesia
Politik kebencian terhadap umat Islam juga muncul secara nyata di Indonesia. Usman Hamin mengatakan di tahun 2017 tidak ada perkembangan yang signifikan dalam perlindungan terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang bahkan ketika mengadvokasikan aktivitas Islamnya tanpa kekerasan. Hal itu terlihat dalam pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan menggunakan Perppu Ormas.
“Dalam kasus HTI saya kira tampak sekali. Meskipun pemerintah di awal menyangkal bahwa Perppu itu ditujukan untuk HTI, tetapi pada praktiknya dugaan bahwa itu ditujukan kepada HTI tidak bisa disangkal lagi,” kata Usman.
Menurutnya, meski banyak orang tidak suka dengan tujuan-tujuan politik HTI tetapi hampir sulit menemukan keterlibatan mereka dalam sebuah kejahatan. Tak ada sebuah vonis pengadilan yang menunjukkan bahwa mereka telah melakukan perbuatan kekerasan. “Tidak ada alasan konstitusional untuk membubarkan kelompok ini,” imbuh Usman.
Dengan dikeluarkannya Perppu Ormas dan dibubarkannya HTI justru mengajak orang-orang yang sebenarnya moderat jadi membenci mereka yang dianggap radikal Islam. Sekalipun mereka yang dibenci tidak melakukan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang.
“Ini satu kebencian yang sebenarnya diretorikakan dan dijalankan oleh negara dan itu dijalankan dengan konkret, sehingga berdampak pada hilangnya hak konstitusional dan hak asasi manusia,” tandas Usman.
SUMBER