IDNUSA, JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum & HAM) Yasonna Laoly kurang setuju tentang usulan agar TNI diberi kewenangan menembak mati bandar narkoba oleh Badan Narkotika Nasional (BNN). Dia lebih memilih kewenangan tersebut diberikan ke Polri.
"Kalau sifatnya koordinasi TNI dan Polri tidak masalah. Tapi kalau sampai diberikan kewenangan TNI boleh tembak ditempat bandar narkoba sebaiknya dikaji kembali," kata Yasonna usai rapat kerja dengan Badan Legislasi (Baleg) di Gedung Parlemen, Jakarta, kemarin.
Menteri asal PDI Perjuangan ini menjelaskan, berdasarkan aturan, pihak yang memiliki kewenangan dalam proses penegakan hukum adalah aparat kepolisian. Sementara tugas TNI itu untuk berperang.
"Kalau TNI diberi kewenangan menembak mati bandar narkoba itu menyalahi prosedur. Percayakan pada polisi dan kita lihat perkembangannya seperti apa," ujarnya.
Kendati begitu, Yasonna tak memungkiri bila pihaknya juga melibatkan TNI dalam memperketat pengawasan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), karena kurangnya personil.
"Kalau TNI diberikan kewenangan menembak mati bandar narkoba, apakah sekarang ini sudah dianggap sudah perang?. Kalau sekarang sudah dianggap perang, ya tak masalah," katanya.
Terkait eksekusi mati jilid tiga, Yasonna menegaskan bahwa urusan dilanjutkan atau tidaknya eksekusi mati jilid III terhadap bandar narkoba, adalah kewenangan Jaksa Agung. Karenanya, dia enggan berkomentar banyak mengenai hal tersebut.
"Soal eksekusi mati itu urusana pak Jaksa Agung. Dia yang mutusin lanjut atau tidaknya. Kalau kita hanya ngurusin tempatnya saja," tegasnya.
Saat ini, pihaknya tengah fokus membenahi sejumlah Lapas yang kerap dijadikan tempat bisnis para bandar narkoba. Salah satunya, adalah menjalin kerja sama dengan sejumlah instansi terkait untuk memberantas praktik peredaran narkoba di Lapas.
"Kerja sama ini tentunya untuk meningkatkan pengawasan bersama kepolisian. Baik untuk mengawasi di dalam jaringan atau di luar Lapas," katanya.
Untuk mengantisipasi adanya penyelundupan narkoba ke dalam Lapas, Yasonna melakukan razia rutin di Lapas. Termasuk memperkuat tugas dan fungsi personil Lapas dengan membuat training petugas pengamanan pintu utama dan KPUP.
"Semua Petugas Pintu utama (P2U) dan KPUP kita training yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Dari pelatihan-pelatihan ini kita berharap dapat meningkatkan kemampuan dan semangat petugas Lapas untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya," paparnya.
Namun, Yasonna memastikan, saat ini sudah ada sekitar 60 Lapas yang telah menggunakan alat pendeteksi canggih. Dengan demikian, dia memastikan, setiap upaya penyelundupan barang terlarang ke dalam lapas dan rutan, dapat dengan cepat diketahui.
"Alat itu alat scanning yang sudah disebar ke 60 Lapas. Dengan alat ini semua yang terselip di seluruh bagian dalam tubuh bisa kelihatan," ujarnya.
Selain alat scanning, Kemenkumham juga menyiapkan alat pendeteksi berupa gelang, yang akan digunakan penghuni lapas yang izin keluar untuk urusan tertentu.
Namun, permasalahan terpenting yang dihadapi institusinya saat ini adalah mengenai over kapasitas yang bisa berdampak pada kesehatan para napi.
"Jumlah narapidana di Lapas hingga Maret 2017 sebanyak 214.675 orang. Waktu rapat komisi lalu, per Januari masih 202 ribu, dan bertambah 12 ribu dalam dua bulan. Karena over kapasitas, sanitasi menjadi kurang baik. Demikian juga dengan gizi, karena jumlah makanan yang harus disediakan, tak sesuai dengan anggaran yang ada," ujarnya.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Budi Waseso sebelumnya, mengusulkan, agar TNI diberi kewenangan untuk menembak mati bandar narkoba.
"Usulan anggota TNI agar diberikan kewenangan untuk menembak bandar narkoba sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bandar itu sebagai musuh negara karena sasarannya adalah negara dan bangsa. Maka di situlah TNI berbuat bagaimana untuk tahu bandar itu siapa? Datanya dari kami dan di kepolisian," terangnya. (rmol)