logo
×

Senin, 10 April 2017

Pidato Syafii Maarif Dikritik Politisi PDIP

Pidato Syafii Maarif Dikritik Politisi PDIP

IDNUSA, JAKARTA - Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Denny Iskandar, mengkritisi orasi mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Syafii Maarif, bertajuk "Ada Misleading Fanatism" yang dibacakan di Hotel Aryaduta, Jakarta, Sabtu (8/4/2017).

Poin per poin tiap kalimat yang disampaikan, dikritisi Denny. Misalnya, menyangkut 'teologi maut' yang disebut Buya Syafii, mengajarkan pengikutnya untuk berani mati, bukan untuk hidup.

"'Teologi maut' karena tidak berani hidup dan mengakui kesalahan? Jadi maksudnya, lebih baik mati daripada mengakui kesalahan dan kebenaran?" ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, beberapa saat lalu.

Denny turut mempertanyakan, apakah maksud pidato Buya Syafii juga ditujukan kepada warga, khususnya yang muslim, agar tidak ragu memilih pemimpin yang tidak seiman. Pasalnya, pada Pilkada DKI belakangan menggema "Al Maidah 51" dan umumnya dimaknai agar orang Islam memilih pemimpin yang seiman.

"Misalnya seorang kristiani untuk tidak fanatik (terhadap ajaran agamanya), kemudian disarankan memilih pemimpin yang muslim?" katanya mencontohkan.

‎"Atau supaya enggak salah fanatik, kemudian akan mengajak orang Indonesia untuk memilh pemimpinnya yang bukan orang Indonesia?" sambung mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) itu.

Tentang mayoritas diam yang disinggung Buya Syafii, turut dipertanyakan Denny. Katanya, apakah maksud Buya Syafii mendorong agar mayoritas turut berbicara dan menyaingi 'pekik' minoritas sehingga terjadi kegaduhan.

"Saya kira mayoritas tidak diam. Justru, menurut pengamatan saya, yang disebut Buya Syafii 'silent majority', mereka lebih memilih bertakwa dibanding bersuara dan menimbulkan opini, bahwa minoritas harus dilindungi," paparnya.

Kendati demikian, Denny bersepakat, bahwa dirinya memiliki kekhawatiran yang sama dengan Buya Syafii, tak ingin Indonesia tenggelam.

"Maka, mungkin maksud buya, bahwa kini lah saatnya minoritas untuk diam dan bersama mayoritas menjaga Indonesia serta Pancasila sebagai Ideologi tanpa topeng dan berpura-pura bersuara," ucapnya.

Minoritas, sambung Denny, pun harus bersikap realistis dan elegan. Misalnya, diam ketika kegaduhan mencuat ke permukaan. "Bukan malah memicu gempa," tegasnya.

Terkait siapa mayoritas dan minoritas di Indonesia, kata Denny, sebaiknya mengacu kepada data Badan Pusat Statistik (BPS), baik tentang etnis dan agama yang dianut, agar lebih objektif. "Ayolah buya, berbicaralah terus terang," pungkasnya. (ts)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: