Warga etnis Rohingya naik sepeda roda tiga di sebuah tempat pengungsian bagi orang-orang Rohingya luar Sittwe di negara bagian Rakhine, Myanmar 15 November 2016. |
Dalam wawancara pertama yang dilakukan media pada Jumat (31/3), Ata Ullah membantah bahwa kelompoknya memiliki hubungan dengan kelompok teroris asing. Ia mengatakan ia hanya memfokuskan perjuangannya kepada hak-hak Muslim Rohingya yang mengalami penganiayaan dari mayoritas Buddha Myanmar.
"Jika kami tidak mendapatkan hak-hak kami, jika satu juta, 1,5 juta, atau semua Rohingya harus mati, maka kami akan mati. Kami akan mengambil hak-hak kami. Kami akan bertarung dengan pemerintah militer yang kejam," ungkapnya.
Serangan terhadap pos perbatasan Myanmar pada Oktober tahun lalu oleh kelompok pemberontak telah memicu krisis terbesar dalam pemerintahan Suu Kyi. Lebih dari 75 ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dalam operasi yang dilakukan militer Myanmar.
Sebuah laporan PBB yang dikeluarkan bulan lalu mengatakan, pasukan keamanan Myanmar telah melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan terhadap etnis Rohingya. Perbuatan itu dinilai sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun militer Myanmar membantah tuduhan itu dan mengatakan mereka melakukan operasi militer yang sah dan sesuai prosedur.
"Tidak ada yang berada di atas hukum. Jika mereka menyerang kami dengan kekerasan, kami akan merespon dengan cara yang sama. Tidak ada tempat di dunia ini yang menoleransi tindakan kekerasan," ujar juru bicara Suu Kyi, Zaw Htay, dalam menanggapi pernyataan Ata Ullah.
Lebih dari satu juta Muslim Rohingya yang tinggal di Rakhine telah ditolak kewarganegaraannya, tidak memiliki kebebasan bergerak, dan tidak mendapatkan akses ke layanan kesehatan. Bentrokan etnis antara Rohingya dan Buddha di Rakhine terjadi pertama kali pada 2012, yang menewaskan 100 orang dan membuat 140 ribu orang lainnya mengungsi.
"Pada 2012, banyak hal yang terjadi dan mereka membunuh kami. Jadi kami mengerti pada waktu itu, mereka tidak akan memberikan hak-hak kami," kata Ata Ullah.
Laporan International Crisis Group pada Desember lalu menunjukkan, kelompok pemberontak dibentuk oleh Rohingya yang tinggal di Arab Saudi setelah terjadi kerusuhan pada 2012. Kelompok itu menamai diri mereka sebagai Harakah al-Yaqin, yang artinya "Gerakan Keyakinan" dalam bahasa Arab.
Mereka menunjuk Ata Ullah sebagai pemimpin kelompok. Ata Ullah telah muncul dalam serangkaian video yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan 9 Oktober terhadap pos perbatasan Myanmar. Ata Ullah mengatakan, kebencian yang timbul selama bertahun-tahun membuatnya meminta orang-orang muda Rohingya untuk bergabung dengan kelompoknya. Hal itu dilakukannya saat ia kembali ke Rakhine setelah beberapa tahun menetap di Bangladesh dan Arab Saudi.
"Kami tidak bisa menyalakan lampu di malam hari. Kami tidak bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Di mana-mana ada pos pemeriksaan. Itu bukan cara manusia hidup," katanya.
Kepada Reuters, para pengungsi Rohingya di kamp-kamp pengungsian Bangladesh mengatakan mereka pada awalnya menaruh simpati kepada para pemberontak. Namun, mereka telah melepaskan dukungan. (rol)