IDNUSA, JAKARTA - Mohammad Hatta dikenal sebagai proklamator Indonesia.
Perjuangannya melawan penjajah dan mencetuskan proklamasi Indonesia bersama Soekarno tentu tak bisa dilupakan.
Namun siapa sangka, sosok ayah Meutia Hatta ini ternyata lebih dari luar biasa.
Kesederhanaan Bung Hatta mengenai kehidupan pun menjadi hal yang patut dicontoh.
Ada kisah yang mengharukan dari kehidupan sang proklamator ini, yakni keinginannya untuk memiliki sepatu Bally.
Sepatu Bally merupakan sepatu bikinan Swiss.
Pada zamannya, sepatu tersebut menjadi barang yang bermutu tinggi dan sangat mahal harganya.
T. Agus Khaidir dalam kolom Ngopi Sore Tribun Medan mengutip pernyataan Meutia Hatta soal keinginan sang ayah.
Waktu itu, Bung Hatta melihat iklan sepatu Bally di salah satu media cetak.
Ia pun menggunting dan menyimpan gambar sepatu tersebut.
Bung Hatta pun mengatakan suatu saat ia ingin memiliki sepatu tersebut.
"Saya mendengarnya dari ibu. Suatu hari, ayah saya melihat iklan sepatu ini, mungkin di koran atau majalah. Ayah sangat menyukainya dan memandangnya berlama-lama dan kemudian menggunting dan menyimpan iklan itu di balik lembaran bukunya. Ayah bilang, jika sudah punya uang, ia akan membeli sepatu tersebut," kata Meutia, puteri Bung Hatta.
Melihat apa yang dilakukan Hatta, istrinya Rahmi bertanya, bagaimana sepatu itu bisa dibeli.
Hatta pun menjawab, "Saya tabung dari uang pensiun."
Sayang, kebutuhan keluarga Bung Hatta tak pernah luang.
Ada saja keperluan rumah tangga yang harus dipenuhi hingga wakil presiden pertama RI ini harus mengesampingkan keinginannya.
Hingga akhirnya, Bung Hatta meninggal pada 14 Maret 1980.
Ia meninggal di usia 72 tahun dan hingga akhir hayatnya sepatu impiannya itu tak juga bisa terbeli.
Dikutip dari Intisari, hingga wafat, Hatta ternyata masih menyimpan guntingan iklan sepatu Bally tersebut.
Kertas usang itu menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Hatta, sang proklamator, founding father republik ini.
Lebih lanjut , Meutia pun menyatakan saat Bung Hatta tak lagi menjabat wakil presiden, ia menghidupi keluarganya dari honor sebagai pembicara dan penulis.
Namun, uang tersebut juga tak cukup meng-cover semua kebutuhan.
"Setelah tidak lagi jadi wakil presiden, ayah saya menghidupi kami dari honor-honornya sebagai pembicara, mengajar, dan menulis di koran. Dan uang itu, setelah dikumpul-kumpul, jumlahnya memang tidak pernah cukup. Setiap bulan kami selalu menunggak," ujar Meutia. (tn)